PILKADA SERENTAK DAN PENGUATAN DEMOKRASI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Oleh: Dr. Anthon Raharusun, S.H.,M.H. (Ketua DPC PERADI Kota Jayapura Periode 2017-2022)
PILKADA SERENTAK DAN PENGUATAN DEMOKRASI DALAM
SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Oleh:
Dr. Anthon Raharusun, S.H.,M.H.
Ketua DPC PERADI Kota Jayapura
PENDAHULUAN
Dinamika ketatanegaraan di Indonesia semakin berkembang seiring dengan dinamika perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD) 1945. Secara teoritis pengubahan dan perubahan suatu konstitusi dapat dilihat sebagai bagian dari sebuah proses penyempurnaan ketatanegaraan sebagai akibat dinamika perubahan sistem politik hukum dan demokratisasi. Upaya penyempurnaan atas kekurangan lahiriah yang terdapat dalam suatu konstitusi, menurut K.C. Wheare dapat dilakukan melalui formal amandement, constitutional convension, ataupun judicial interpretation. Seiring dengan hal tersebut, penyempurnaan dan pengubahan terhadap UUD 1945 baik perubahan pertama, kedua, ketiga dan keempat (bahkan kelima nanti) diharapkan mampu menciptakan dan mengawal transisi politik kekuasaan yang otoritarianisme menuju era demokrasi konstitusional sebagai upaya menciptakan pemerintahan yang demokratis baik pada level nasional (pemerintah pusat) mapun pada level sub nasional (pemerintah daerah).
Pada era reformasi muncul gumpalan aspirasi dan gugatan kuat agar pemilu sebagai sarana paling nyata bagi pelaksanaan demokrasi harus diselenggarakan secara benar-benar langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Pada pemilu tahun 1999 kita boleh bergembira karena berhasil menyelenggarakan secara ralatif fair dan bersih, terutama jika dibandingkan dengan pemilu era Orde Baru. Meskipun harus diakui pada tingkat Panitia Pemilihan Indonesia yang diisi dengan orang-orang parpol itu terjadi kekisruhan dalam penetapan hasil pemilu, tetapi akal sehat publik (public commen sense) menyatakan bahwa pemilu tahun 1999 adalah pemilu yang terbaik setelah pemilu yang pertama tahun 1955. Tetapi problem atau ancaman bagi penyelenggaraan pemilu yang membaik itu muncul lagi sejak pemilu legislatif tahun 2004, lalu menguat lagi pada pemilu tahun 2009, terutama terkait dengan isu politik uang (money politic) dan gejala menguatnya oligarki di kalangan partai politik. Problem yang tidak kondusif, bahkan mengacam demokrasi, ini bisa dilihat dari berbagai kasus yang dimuat secara telanjang di berbagai media massa dan menjadi kasus sengketa hasil pemilu dan pemilu kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Selain itu, permasalahan lain yang seringkali terjadi dalam Pemilu baik pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden serta pemilu kepala daerah adalah terkait dengan daftar pemilih yang tidak akurat (daftar pemilih tetap), manipulasi dalam perhitungan suara dan rekapitulasi hasil perhitungan suara, netralisasi institusi penyelenggara, dan berbagai permasalahan lainnya terkait dengan pelaksanaan Pemilu.
Pemilihan Umum merupakan syarat minimal penyelenggaraan sistem demokrasi, di mana para pembuat keputusan kolektif tertinggi dalam sistem itu dipilih melalui mekanisme yang jujur, adil, dan berkala. Oleh karena itu, dalam perkembangan sejarah negara-negara modern, pemilu dianggap sebagai tonggak bagi tegaknya sistem demokrasi. Mengaitkan pemilu dengan demokrasi sebenarnya dapat dilihat dalam hubungan dan rumusan yang sederhana sehingga ada yang mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu bentuk dan cara yang paling nyata untuk melaksanakan demokrasi. Jika demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat, maka cara rakyat untuk menentukan pemerintahan itu dilakukan melalui pemilu. Hal ini menjadi niscaya karena di zaman modern ini tidak ada lagi demokrasi langsung atau demokrasi yang dilakukan sendiri oleh seluruh rakyat seperti pada zaman polis-polis di Yunani kuno kira-kira 2.500 tahun yang lalu. Di dalam demokrasi modern, pemilu selalu dikaitkan dengan konsep demokrasi perwakilan atau demokrasi tidak langsung (indect democracy), yang berarti keikutsertaan rakyat di dalam pemerintahan dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sendiri oleh rakyat secara langsung, bebas, sehingga hasil pemilu haruslah mencerminkan konfigurasi aliran-aliran dan aspirasi politik yang hidup di tengah-tengah rakyat. Konsep dan pemahaman yang seperti itu pulalah yang mendasari penyelenggaraan pemilu sepanjang sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Terdapat beberapa alasan mengapa Pemilu menjadi penting bagi sebuah negara demokrasi. Pertama, melalui Pemilu dapat dibangun basis dan konsep demokrasi. Tanpa Pemilu, tanpa persaingan yang terbuka di antara kekuatan sosial dan kelompok politik, maka tidak ada demokrasi. Kedua, Pemilu melegitimasi sistem politik. Ketiga, mengabsahkan kepemimpinan politik. Keempat, pemilu sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-negara demokrasi. Oleh karena itu, dinamika penyelenggaraan pemilihan kepala daerah merupakan manifestasi dan perwujudan hak-hak politik dan demokrasi rakyat untuk menentukan jalannya pemerintahan dan ketatanegaraan sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Selain itu, pemilihan kepala daerah juga dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat terhadap seorang pemimpin.
Terkait dengan beberapa alasan tersebut di atas, dalam hubungannya dengan pemilu, terutama pemilihan kepala daerah (Pilkada), maka beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan kepala daerah langsung adalah: Pertama; pemilihan kepala daerah langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokrasi di tingkat lokal, khususnya pembangunan legitimasi politik. Ini didasarkan pada asumsi bahwa Kepala Daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang kuat,karena mendapat dukungan suara oleh rakyat secara langsung yang merefleksikan konfigurasi kekuatan politik dan kepentingan konstituen pemilih. Legitimasi ini merupakan hal yang sangat penting bagi pemerintahan yang akan berkuasa. Kedua; Pemilihan Kepala Daerah langsung diharapkan mampu membangun serta mewujudkan akuntabilitas lokal dan penguatan terhadap nilai-nilai demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Secara yuridis, dasar pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis (langsung) dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang menyatakan bahwa ”Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Apabila kita mencermati amanat konstitusi tersebut, maka pemilihan kepala daerah tersebut tidak disebutkan secara tegas mengenai apakah pemilihan kepala daerah tersebut termasuk didalamnya pemilihan Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota dipilih secara demokratis dalam satu pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Namun demikian, setelah keluarnya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah kemudian ditafsirkan termasuk di dalamnya adalah gubernur, bupati, dan walikota memiliki pasangan seorang wakil yang juga dipilih sebagai satu pasangan calon. Hal mana telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 56 UU No 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas dan rahasia, jujur dan adil. Pasangan tersebut harus diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik seperti halnya dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung (demokratis) dan pemilu serentak oleh rakyat merupakan suatu proses politik bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis, transparan, akuntabel dan bertanggung jawab. Oleh karena itu, untuk menjamin pelaksanaan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah serentak yang berkualitas dan memenuhi derajat kompetisi yang sehat, maka persyaratan dan tata cara pemilihan Kepala Daerah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Secara umum dikatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu lebih demokratis. Setidaknya ada dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung dianggap perlu: Pertama; untuk membuka pintu bagi tampilnya kepala daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat sendiri. Kedua; untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan ditengah jalan. Praktik selama rezim Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, menunjukkan, bahwa pemilihan melalui mekanisme DPRD seringkali berseberangan bahkan tidak sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat di daerah.
Kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah disadari oleh para wakil rakyat yang duduk di MRP-RI, sehingga melahirkan ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Bersamaan dengan itu, dalam Sidang Tahunan MPR-RI Tahun 2000 telah dilakukan perubahan kedua UUD 1945 yang antara lain telah mengubah Bab IV tentang Pemerintahan Daerah dengan Pasal 18, Pasal 18A dan Pasal 18B sehingga dikeluarkannya Ketetapan MPR No. IV/MPR/2000 tersebut sejalan dengan perubahan UUD 1945.
Salah satu butir rekomendasi menyebutkan: sejalan dengan semangat desentralisasi, demokrasi dan kesetaraan hubungan pusat dan daerah diperlukan upaya perintisan awal untuk melakukan revisi yang bersifat mendasar terhadap Undang- Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Revisi dimaksud dilakukan sebagai upaya penyesuaian terhadap Pasal 18 UUD 1945 atas dasar amanat TAP MPR di atas, kebutuhan untuk melakukan revisi terhadap UU No. 22 Tahun 1999, tidak terelakkan, apalagi Pasal 18 UUD 1945 yang menjadi dasarnya, pasca perubahan kedua UUD 1945 telah disempurnakan dan ditambah menjadi semakin jelas dan terperinci. Disisi lain, pengaturan pemilihan kepala daerah berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengandung sejumlah kelemahan baik dari segi sistem maupun aturan teknisnya.
Dalam konteks pelaksanaan desentralisasi politik, saat ini Indonesia telah melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang dimulai sejak 1 Juni 2005 sebagai manifestasi dari upaya penguatan agenda demokratisasi di daerah.
Namun, implementasi kebijakan desentralisasi politik telah menimbulkan dinamika politik yang cukup tinggi dalam kurun waktu 2005-2014, di mana penyelenggaraan Pilkada membawa implikasi yang negatif di satu sisi, yakni membawa potensi tidak terselenggaranya pemerintahan daerah secara efektif dan efisien, sekaligus memicu terjadinya konflik-konflik horizontal. Oleh karena itu, berdasarkan latar belakang berbagai problematika yang ada serta pemahaman bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah sebagaimana diatur dalam UU tentang Pemerintahan Daerah sudah tidak sejalan dengan tuntutan demokrasi kekinian saat ini, maka pengaturan tentang Pemilihan Kepala Daerah perlu diatur dalam UU tersendiri. Terkait dengan pengaturan Pilkada dalam UU tersendiri ini, DPR-RI telah mengesahkan UU No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang). Undang- Undang ini antara lain diarahkan untuk memproyeksikan format Pilkada yang ideal kedepan, sekaligus meletakan Pilkada secara konsisten dalam konfigurasi ketatanegaraan Indonesia dengan menata kembali mekanisme Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di Indonesia dengan berbagai dinamika sosial-politik dalam penyelenggaraannya. Oleh karena itu Pilkada serentak selain dimaksudkna untuk memperkuat demokrasi di aras lokal juga merupakan mekanisme untuk melahirkan pemerintahan daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kesetaraan hak warga negara dalam berpolikan serta bagi penguatan demokrasi nasional. Selain itu, salah tujuan dilaksanakannya Pilkada serentak baik pemilihan gubernur, bupati, walikota adalah agar terciptanya efektivitas dan efisiensi anggaran negara. Misalnya saja, pemilihan Gubernur yang berbarengan dengan pemilihan Bupati atau Walikota, pembiayaan atas petugas TPS hanya perlu dibayarkan satu kali termasuk biaya bimbingan teknis, biaya sosialisasi, dan biaya-biaya lain untuk pembiayaan satu kali pemilihan, termasuk proses rekapitulasi pemilihan gubernur, proses pemungutan dan perhitungan suara bupati, walikota. Dalam kaitannya dengan efisiensi anggaran ini, KPU juga melakukan pembatasan pengeluaran biaya kampanye. Pembatasan dilakukan dengan memperhitungkan metode kampanye, jumlah kegiatan, perkiraan jumlah peserta, standar biaya daerah, bahan kampanye yang diperlukan, cakupan wilayah dan kondisi geografis, logistik dan manajemen kampanye. Hal ini dilakukan KPU agar para calon kepala daerah diharapkan tidak terjebak dengan politik uang (money politic). Problem lainnya yang menjadi perhatian utama KPU dalam penyelenggaraan Pilkada serentak adalah terkait dengan sosialisasi. Sebab partisipasi pemilih Pilkada secara nasional telah diambang titik kritis, terutama di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Medan, Surabaya dan Bandung. Terkait dengan sosialisasi ini menurut KPU, setidaknya ada tiga metode yang akan digunakan untuk aktivitas sosialisasi, yakni komunikasi massa seperti tatap muka, pertemuan terbatas, diskusi; iklan di media cetak, elektronik, media sosial dan sosialisasi melalui berbagai jejaring yang dimiliki KPU.
Berdasarkan uraian diatas, pertanyaan mendasar dalam penulisan ini berfokus pada: Pertama: Problem-problem apa sajakah yang seringkali terjadi dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia. Kedua: apakah Pilkada serentak dapat memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia ?. dan apakah Pilkada serentak juga merupakan momentum konsolidasi sistem demokras Pancasila?
Oleh karena itu, sebelum Penulis menguraikan atau membahas lebih lanjut mengenai artikel ini, maka terlebih dahulu membahas beberapa teori yang relevan dengan topik pembahasan dalam penulisan ini, terutama mengenai bagaimana hubungan teoretik antara partai politik dalam sebuah negara demokrasi dengan proses demokrasi itu sendiri (baca: pemilu), termasuk bagaimana pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
1. Partai Politik dan Teori Demokrasi
Partai dalam proses demokrasi adalah sebagai jembatan yang sangat strategis bagi proses-proses penyelenggaraan pemerintahan dengan warga negara. Bahkan banyak pihak berpendapat bahwa partai politik yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider (1942) dalam Jimly Asshiddiqie ”political parties created democracy”. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting bagi bekerjanya sistem politik dan demokrasi. Bahkan oleh Schattscheider di katakan pula, “Modern democracy is unthinkable save in terms of the parties”. Namun demikian, banyak juga yang masih memberikan pandangan kritis dan bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang paling krusial di antaranya mengatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih dari kendaraan politik bagi sekelompok elite yang berkuasa.
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peran setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan “check and balances”. Akan tetapi jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrim lah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan. Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan prinsip check and balances dalam artian yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan Negara itu sesuai prinsip check and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan mekanisme demokrasi yang dikembangkan di suatu negera. Kesemuanya ini tentu berkaitan erat dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tradisi berpikir atau kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis. Dalam kaitan ini, maka menurut Clinton Rossiter bahwa, “tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak politik tanpa partai”. Aksioma Rossiter ini telah diterapkan oleh para ilmuan politik untuk pemerintahan di berbagai negara di dunia (termasuk Indonesia). Dengan demikian, Partai Politik sangat penting bagi pemerintahan yang demokratis. Partai Politik menjadi penghubung penting dalam setiap masyarakat yang kekuasaan tertinggi diperebutkan melalui Pemilu.
Proses pelembagaan demokrasi itu pada dasarnya sangat ditentukan oleh pelembagaan organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem demokrasi itu sendiri. Karena itu menurut Yves Meny and Andrew Knapp, A democracy system without political parties or with a single party is impossible or at any rate hard to imagine”. Suatu sistem dengan hanya 1 (satu) partai politik, sulit dibayangkan untuk disebut demokratis, apalagi jika tanpa partai politik sama sekali. Tingkat dan derajat pelembagaan partai politik itu sendiri dalam sistem demokrasi, lebih lanjut menurut Yves Meny dan Andrew Knapp, tergantung kepada 3 (tiga) parameter, yaitu (i) “its age”, (ii) the depersonalization of organization”, dan (iii) “organizational differentiation”. Setiap organisasi yang normal tumbuh dan berkembang secara alamiah menurut tahapan waktunya sendiri. Karena itu, makin tua usianya, ide-ide dan nilai-nilai yang dianut di dalam organisasi tersebut semakin terlembaga (institutionalized) menjadi tradisi dalam organisasi (baca: partai politik). Dalam kaitan ini, maka partai politik yang sudah terstruktur dan terlembaga tentu dapat tetap mempertahankan eksistensinya dalam menghadapi berbagai perubahan sistem politik dan ketatanegaraan tanpa harus meninggalkan jati dirinya dan berubah bentuk, sebagian merger, mengecil (splinter).
Beranjak dari keberadaan partai politik, pada umumnya para ilmuan politik biasa menggambarkan adanya 4 (empat) fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Mirian Budiardjo, meliputi sarana: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) sarana rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengaturan konflik (conflict management). Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi partai politik itu mencakup fungsi (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap pelaku memilih (voting patterns); (iii) sarana rekriutmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan. Keempat fungsi tersebut sama-sama terkait satu dengan yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting dalam upaya mengartikulasikan kepentingan (interests articulation) atau ”political interests” yang terdapat atau kadang-kadang yang tersembunyi dalam masyarakat.
Menurut Brian C. Smith dan Robert Dahl menyebutkan bahwa local accountability, political equiry, dan local responsiveness yang menjadi pertaruhan setiap daerah. Ketiganya pertaruhan tersebut menjadi tolak ukur untuk melihat sejauh mana pemerintahan di daerah berjalan efektif. Untuk memperkuat demokrasi di aras lokal, Pilkada serentak merupakan mekanisme untuk melahirkan pemerintahan daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas di daerahnya, kesetaraan hak warga negara dalam berpolitik serta bagi penguatan demokrasi lokal (baca: pemerintahan daerah).
2. Teori Pemilu
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa terdapat beberapa alasan mengapa Pemilu menjadi penting bagi sebuah negara demokrasi? Pertama, melalui Pemilu dapat dibangun basis dan konsep demokrasi. Kedua, Pemilu melegitimasi sistem politik. Ketiga, mengabsahkan kepemimpinan politik. Keempat, pemilu sebagai unsur pokok partisipasi politik di negara-negara demokrasi. Oleh karena itu, dari sudut pandang teori pemilihan umum mempunyai makna sebagai salah satu sarana untuk instrumen penting bagi demokrasi. Hak dan kewajiban rakyat yang dikenal sebagai right on candidat dan right to be vote untuk berpartisipasi dalam pemilihan telah diatur dalam UUD 1945, maupun dalam konvensi internasional. Negara mempunyai kewenangan untuk membatasi peran serta atau partisipasi warga negara sepanjang tidak bertentangan dengan norma yang diatur dalam konstitusi. Dengan sedapat mungkin tidak mengandung unsur diskriminasi dan tidak pula menciptakan perlakuan berbeda kepada setiap warga negara Indonesia. Negara diperkenankan membatasi warga negara dalam kondisi tertentu untuk berpartisipasi, misalnya dalam hal tidak cakap secara hukum, baik karena masih di bawah umur atau terganggu jiwanya, maupun dalam hal telah ada putusan peradilan yang mencabut hak seseorang warga negara, baik itu hak untuk dipilih maupun hak memilih. Pembatasan-pembatasan lainnya tetap diperkenankan sepanjang memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni bahwa pembatasan menurut konstitusi dimaksudkan semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil. Kendati pun demikian, pembatasan tersebut terikat pada empat unsur; moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum.
3. Teori Pembetukan Undang-Undang yang Baik
John Locke berpendapat undang-undang yang dibuat oleh kekuasaan legislatif merupakan undang-undang yang dapat memberikan kebaikan bagi masyarakat luas (make them for the public good) atau memuat unsur-unsur kepentingan umum. Jiwa negarawan harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan ini, dengan mendahulukan kepentingan rakyat banyak. Jika tidak tentu dapat memberikan konsekuensi karena undang-undang itu nantinya akan menjadi landasan yuridis dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lebih lanjut menurut VCRAC Crabbe bahwa aspek terpenting dari undang-undang bukan hanya terkait aspek pengaturan tetapi juga proses pembuatan/pembentukannya (the important part of legislation is not only the regulatory aspect but the law-making process itself). Proses pembuatan/pembentukan undang-undang perlu berpedoman pada prinsip-prinsip atau asas-asas pembentukan undang-undang yang baik dikarenakan dua alasan, yaitu pertama, adanya tuntutan masyarakat yang ditujukan kepada pembentuk undang-undang terhadap undang- undang yang dihasilkannya yaitu, mampu dilaksanakan; dapat ditegakkan; sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur; dan mampu menyerap aspirasi masyarakat; dan kedua, mengingat fungsinya dalam meningkatkan kualitas undang-undang sehingga undang-undang yang dihasilkan memiliki efektivitas dari segi pencapaian tujuan, pelaksanaan dan penegakan hukum.
Sedangkan efektivitas hukum menurut Hans Kelsen adalah bahwa orang benar-benar berbuat sesuai dengan norma-norma hukum atau dengan kata lain norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi.
Dengan demikian, kendatipun proses pembuatan/pembentukan suatu undang- undangan itu adalah produk politik, tetapi para pembuat undang-undang dalam membuat/membentuk suatu peraturan perundang-undangan harus lebih mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara dan bukan sebaliknya mengedepankan kepentingan politik tertentu, kepentingan kelompok, apalagi kepentingan partai politiknya, seperti halnya yang terjadi dalam proses pembuatan/pembentukan undang-undang pemerintahan daerah dan undang-undang pemilihan gubernur, bupati dan walikota pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang kemudian dilanjutkan dan disahkan pada masa pemerintahan Joko Widodo.
Bertitik tolah dari berbagai pembahasan tersebut di atas, maka menurut penulis prospek pelaksanaan Pemilu/Pilkda serentak di masa-masa mendatang dalam kehidupan politik yang demokratik dan demokratisasi dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia adalah mengembalikan entitas budaya demokrasi Indonesia pada demokrasi Pancasila sebagai fondasi utama yang dapat berfungsi dan mampu memelihara stabilitas politik lokal dan nasional serta menciptakan sebuah pemerintahan yang efektif, kuat, accountable yang memiliki tingkat legitimasi yang tinggi yang dibangun di atas nilai-nilai dan ideologi Pancasila.
Bertitik tolak pada pertanyaan penulisan tersebut di atas, maka berikut ini akan diuraikan atau dibahas mengenai bagaimana problem pelaksanaan Pilkada serentak di Indonesia dan apakah Pilkada serentak dapat memperkuat demokrasi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
PROBLEM PILKADA SERENTAK DI INDONESIA
Setelah digelar pertama kali sejak 2005, pemilihan kepalda aderah (Pilkada) belum berhasil melahirkan atau memunculkan kepala daerah yang berkualitas. Hal ini mengindikasikan bahwa pemilihan kepala daerah tidak hanya melahirkan pemimpin- pemimpin baru hasil pilihan rakyat, tetapi juga melahirkan segudang permasalahan baru. Praktik politik uang yang semakin massif, konflik, sengketa, bahkan kerusuhan selalu membayangi penyelenggaraan Pilkada. Memang, kondisi ini tidak terjadi di semua daerah, karena ada kepala daerah hasil Pilkada yang berhasil memimpin daerahnya. Namun, jika melihat data bahwa sejak 2004, sudah ratusan lebih kepala daerah dan mantan kepala daerah menjadi tersangka atau dipidana dalam pelbagai perkara korupsi yang tiap tahun terus meningkat. Hal ini tentu menjadi problem tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga Pilkada perlu dibenahi secara komprehensif. Selain itu, besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk menjadi kepala daerah disinyalir menjadi salah satu pangkal terseretnya para kepala daerah dalam pusaran penyelewengan anggaran. Permasalahan Pilkada yang semakin menyeruak ini kemudian oleh Kementerian Dalan Negeri –mengambil inisitif untuk menata Pilkada melalui Pilkada serentak sebagai pintu masuk untuk menata sistem penyelenggaraan Pilakda secera menyeluruh agar jauh lebih baik dan efisien. Aturan Pilkada yang selama ini dititipkan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) dirasa tidak mampu menjawab tantangan dan problematika Pilkada yang semakin kompleks. Untuk itulah saat ini pemerintah telah mengeluarkan Undang- Undang No. 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota. Dengan UU baru ini, diharapkan Pilkada bisa lebih maju, lebih baik, dan lebih sempurna, bahkan bisa mengurangi serta menghilangkan semua masalah-masalah yang muncul dalam Pilkada, mengingat salah satu permasalahan terbesar dalam pelaksanaan Pilkada selama ini adalah –belum berhasil melahirkan dan memunculkan pemimpin kepala daerah yang berintegritas, berkualitas, bebas korupsi. Persoalan lainnya, ‘ongkos’ Pilkada terlalu tinggi (biaya penyelenggaraan dan biaya yang harus dikeluarkan pada calon), kerap terjadi politisasi dalam jabatan birokrasi, praktik politik uang yang semakin massif, dan banyak persoalan lainnya. Hal inilah yang kemudian menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak berjalan efektif.
Beranjak dari berbagai problem dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, maka perlu dilakukan berbagai langkah konsolidasi dalam berdemokrasi. Konsolidasi demokrasi merupakan upaya dinamis yang perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas demokrasi (baca: pemilu/pilkada). Setidaknya, saat ini kita dihadapkan pada tiga fenomena sosial yang mengharuskan adanya evaluasi atas sistem, kultur, dan aturan berdemokrasi. Pertama, sistem demokrasi dalam konteks pemilihan kepala daerah yang menggantungkan kedaulatan rakyat ternyata tidak selalu menghasilkan kepala daerah yang bertindak sesuai aspirasi rakyat. Kedua, penyelenggaraan pemerintahan cenderung tidak stabil, tidak efektif dan cenderung terjadi politisasi jabatan dalam birokrasi. Ketiga, berjalannya demokrasi tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Problem ini perlu dipikirkan langka-langkah perbaikan dan pembenahan sistem Pilkada itu sendiri dalam kontek demokrasi Indonesia, khususnya demokrasi Pancasila yang sesuai dengan kultur dan idelologi bangsa Indonesia.
Terkait dengan berbagai problem Pilkada ini, maka paling tidak terdapat beberapa problem yang mengecewakan terkait dengan pelaksanaan Pilkada di Indonesia. Pertama; Pilkada selalu disertai dengan konflik masyarakat, mulai dari tahap pencalonan dan bahkan berlanjut pasca Pilkada. Konflik memang merupakan bagian dari demokrasi, tetapi konflik yang berkepanjangan dan mengarah pada kekerasan dan terhentinya pemerintahan tentu sangat merugikan dan mencederai makna demokrasi itu sendiri, khususnya makna demokrasi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Kedua; politik uang (money politic) selalu “tercium” dalam setiap pelaksanaan Pilkada dan telah dianggap sebagai bumbu penyedap. Politik uang yang sejatinya merupakan proses suap-menyuap (gratifikasi) telah bergeser menjadi kewajaran, baik bagi calon maupun masyarakat. Pada masa Orde Baru, memang sangat mungkin juga terjadi politik uang, namun saat itu hal tersebut masih dilakukan secara tersembunyi. Akibat dari politik uang ini, suara rakyat jadi tergadai. Calon yang terpilih belum tentu calon yang benar-benar ideal dan dikehendaki oleh rakyat. Sebaliknya, para calon terpilih pun lebih memerhatikan kepentingan sendiri daripada kepentingan rakyat. Karena merasa sudah “membeli” suara rakyat, tidak ada hubungan lagi antara kepada daerah terpilih dengan rakyat pemilih. Jual-beli sudah selesai.
Politik uang mengakibatkan pelaksanaan Pilkada menjadi sangat mahal bagi pasangan calon. Padahal, dari sisi pelaksanaan Pilkada tentu membutuhkan biaya yang lebih mahal dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Apalagi jika harus dilakukan dalam dua putaran, serta kemungkinan pemungutan suara ulang berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketiga; terjadi politisasi birokrasi baik menjelang Pilkada maupun sesudah Pilkada. Hal ini mengakibatkan kekacauan dalam dunia pegawai negeri sipil (PNS) di daerah, di mana birokrasi dipaksa oleh politik Pilkada untuk main taktik dalam pemilihan sehingga menjadi tidak netral dan professional. Saat pemilihan usai, pegawai yang dianggap tidak memihak calon yang menang akan di nonjob-kan semua dari jabatannya, sedangkan yang dianggap memihak akan diberi kedudukan padahal tidak sesuai dengan kompetensinya. Bayangkan bagaimana pemerintahan diurus berdasarkan koncoisme seperti itu. Ini sangat serius dan tidak boleh terjadi lagi dalam Pilkada-Pilkada kedepan, jika pemerintah konsisten menata Pilkada ini dalam konteks demokrasi Pancasila kedepan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Keempat, walaupun telah dilakukan Pilkada secara langsung, ternyata tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan dan kemajuan daerah, termasuk kemajuan demokrasi. Tidak banyak daerah yang mengalami peningkatan kesejahteraan dan kemajuan secara signifikan. Beberapa daerah memang mengalami kemajuan cukup fenomental di bawah kepemimpinan kepala daerahnya, namun lebih banyak lagi yang jalan di tempat. Bahkan, beberapa daerah yang memiliki potensi ekonomi dan sumber daya alam yang besar, ternyata tak kunjung mengalami kemajuan.
Kelima; fakta menunjukkan bahwa di era desentralisasi/otonomi daerah menciptakan aktor-aktor dan modus baru dari korupsi di Indonesia. Pilkada di daerah tidak ada yang tanpa fraud. Akibatnya, kepala daerah yang dipilih tidak memiliki dampak terhadap upaya pemberantasan korupsi. Alih-alih memberantas korupsi, ternyata banyak kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi, bahkan banyak yang sudah dijeblos ke penjara atau menjadi terpidana, baik pada saat menjabat maupun beberapa saat segera setelah turun dari jabatan.
Keenam; khusus Pilkada di Papua, terutama beberapa daerah di wilayah pegunungan, khususnya di Kabupaten Yalimo; Kabupaten Yahukimo dan Kabupaten Pengunungan Bintang yang masih menggunakan noken sebagai pengganti kotak suara. Penggunaan sebagai pengganti kotak suara ini sudah belangsung sejak adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 47-48/PHPU.A-VI/2009, tanggal 09 Juni 2009 dalam sengketa Pilkada Kabupaten Yahukimo yang memperbolehkan menggunakan noken dalam pemungutan suara di beberapa daerah di wilayah pegunungan antara lain di 10 (sepuluh) Kabupaten masing-masing di kabupaten Yahukimo; Jayawijaya; Yalimo; Mamberamo Tengah; Tolikara; Lani Jaya; Nduga; Puncak; Puncak Jaya; dan Intan Jaya. Sedangkan 19 (sembilan belas) Kabupaten lainnya di Papua (termasuk 11 Kabupaten di Papua Barat) tidak menggunakan “sistem” noken ini dalam Pemilu (Pilkada dan Pemilu Legislatif).
Putusan MK dalam sengketa Pemilu di Kabupaten Yahukimo yang melegalkan penggunaan “noken” sebagai bentuk penghargaan terhadap keberagaman budaya dalam kemajemukan Indonesia, sehingga putusan MK tersebut tidak dapat dipandangkan atau ditasirkan sebagai suatu norma hukum yang melahirkan norma hukum baru yang dapat digunakan sebagai suatu produk hukum atau perundang- undangan. Dengan demikian “sistem noken” sebagai budaya tidak dapat digunakan sebagai intrumen demokrasi yang secara permanen dan terus menerus digunakan dalam konteks Pemilu di Papua atau di sebagian wilayah di Papua.Artinya, apabila suatu saat masyarakat sudah mengalami kemajuan dalam peradaban berdemokrasi, maka penggunaan noken sebagai pengganti kotak suara ini tidak perlu lagi digunakan sebagai model demokrasi dalam Pemilu baik pemilu kepala daerah maupun pemilu legislatif di Papua (terutama pada entitas budaya masyarakat di wilayah pegunungan). Penggunaan noken,dipandang sebagai suatu kemunduran dalam berdemokrasi bahkan sistem noken dapat dianggap merusak sistem Pemilu dan tidak mendidik kemajuan peradaban berdemokrasi yang benar bahkan apabila ditempatkan dalam perspektif pelanggaran, maka “sistem noken” ini dapat pula dipandang sebagai bentuk pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis dan massif.
Keenam problem tersebut di atas, memunculkan gagasan untuk memperbaiki sistem dan cara pemilihan kepala daerah secara serentak sesuai dinamika perkembangan demokrasi dan cara berdemokrasi (khususnya di Papua yang masih menggunakan “sistem noken”), kontestasi politik lokal dan kepemerintahan yang terus berkembang. Perubahan konstestasi politik lokal ini terjadi ketika DPR menyetujui bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak dilakukan pada Desember 2015 dan secara bertahap Pilkada serentak akan dilakukan hingga 2019. Pada akhirnya bangsa ini berhasil keluar dari kemelut politik; debat panjang soal langsung tidaknya penyelenggaraan Pilkada. Keputusan DPR menyudahi itu dengan menegaskan bahwa Pilkada tetap dilaksanakan secara langsung dan serentak. Kendatipun pelaksanaan pemilihan kepala daerah dari waktu ke waktu masih saja menjadi problem, terjadi kesemrautan dan indikasi kecurangan di berbagai lini. Namun, dari berbagai indikasi tentang adanya kecurangan dalam penyelenggaraan Pilkada merupakan bagian tersendiri dari sebuah proses politik. Disisi lain, keadaan itu dapat dilihat sebagai kemajuan dalam demokrasi kita karena kesemrawutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama dari seluruh komponen. Artinya bahwa kesemrawutan yang sebenarnya merupakan kemunduran Pilkada ini merupakan kemajuan demokrasi, karena ia menjadi tanggung jawab bersama, tidak karena hegemoni negara seperti yang terjadi pada rezim yang lalu. Oleh karena itu, berbagai problem yang terjadi dalam sistem Pilkada dalam kurun waktu 2005-2007 berdasarkan rezim UU No. 32/2004; kurun waktu 2008-2013 berdasarkan rezim UU 12/2008, UU 22/2007, UU 15/2011 dan kurun waktu 2015 berdasarkan rezim UU 1/2015 sebagaimana telah diubah dengan UU 8/2015, maka hal penting yang menjadi perhatian dan tanggungjawab baik pemerintah dan penyelenggaraa (KPU) dan semua elemen bangsa adalah, memastikan bahwa sistem Pilkada yang selama ini terus mengalami kemunduran, maka Pilkada serentak 2015 menjadi sebuah keniscayaan dan momentum penting untuk menata sistem Pilkada di Indonesia agar lebih berkualitas dan zero conflict. Hal ini sangat penting, mengingat Pilkada serentak 2015 menjadi model Pilkada serentak berikutnya, mengingat Pilkada serentak 2015 merupakan tahap pertama yang akan menentukan perjalanan tahap Pilkada berikutnya dari tiga tahapan Pilkada serentak yang akan dilaksanakan hingga 2027.
PILKADA SERENTAK DAN PENGUATAN DEMOKRASI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
Salah satu wujud dan mekanisme demokrasi di daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Pilkada merupakan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan bahwa pemilih adalah masyarakat di daerah. Pilkada juga memiliki empat fungsi penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pertama, memilih kepala daerah sesuai dengan kehendak masyarakat di daerah. Kedua, melalui Pilkada diharapkan pilihan masyarakat di daerah di dasarkan pada visi-misi dan program serta kualitas dan integritas calon kepala daerah, yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Ketiga, Pilkada merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap seorang kepala daerah dan kekuatan politik yang menopang.
Dengan demikian, Pilkada merupakan salah satu pilar demokrasi sebagai perwujudan dan penguatan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis untuk memilih pimpinan daerah yang kapabel, legitimate, dan akseptabel, sehingga diharapkan dapat terwujudnya pemerintahan yang mendapatkan dukungan yang kuat dari rakyat, mampu mentransformasikan pemikiran dan ide menjadi program-program pemerintahan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat dan dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat. Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, diperlukan upaya dari seluruh komponen bangsa untuk menjaga kualitas Pilkada agar dapat menjadi Pilkada yang subtantif dan berintergritas tinggi.
Arah politik hukum Pilkada di atas, hanya dapat diwujudkan oleh seluruh pemangku kepentingan dan seluruh komponen bangsa apabila saling memahami dan mendukung agar pelaksanaan Pilkada sesuai aturan perundang-undangan dan menghormati hak-hak politik setiap warga negara, sehingga kita menyadari upaya memperbaiki kualitas pelaksanaan Pilkada, sehingga hasil-hasilnya berkualitas merupakan bagian dari proses penguatan demokrasi serta mewujudkan tata pemerintahan yang lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, Pilkada langsung dan serentak pada tanggal 9 Desember pada 269 daerah otonom merupakan sebuah peristiwa hukum yang besar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan ketatanegaraan di Indonesia. Pemerintah menyadari bahwa kita harus menata kembali mekanismenya, membenahi regulasinya, dan membangun integritas dan perilaku penyelenggaraan Pilkada, partai politik dan pasangan calon agar Pilkada dapat terselenggara tidak hanya dari aspek prosedural, tetapi jauh lebih dalam dari itu adalah membangun Pilkada yang lebih substantif, berintegritas, aman, lancar, berlangsung fairness dan terpilih kepala daerah dan wakil kepala daerah yang mampu mensejahterakan rakyatnya dan memajukan daerahnya. Dalam kaitan ini, maka langkah perbaikan Pilkada serentak kedepan juga tidak terlepas dari perbaikan dari sisi electoral system dan electoral process.
Selain itu, juga diperlukan penataan kelembagaan penyelenggara yang mandiri atau independen serta peningkatan kesadaran peserta Pilkada dan warga negara agar tidak terjebak pada permainan dan pragmatisme kekuasaan yang merugikan kepentingan bangsa dan negara. Sifat kemandirian atau independen ini sangat diperlukan karena pada hakikatnya pelaksanaan Pilkada serentak melekat baik pada kelembagaan maupun fungsi yang dijalankan. Selain itu, kemandirian penyelenggara Pilkada juga harus tercermin dalam pelaksanaan tugas dan pertangungjawabannya. Penyelenggara Pilkada, baik Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi dan KPU kabupaten/kota maupun Bawaslu dan Panwaslu, harus independen dalam menjalankan tugasnya masing-masing, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Proses Pilkada serentak baik saat ini maupun di masa mendatang, kita menghendaki peningkatan kualitas demokrasi yang mengarah pada terwujudnya demokrasi substansial, termasuk demokrasi lokal. Salah satu upaya yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas, profesionalisme, dan kemandirian penyelenggara Pilkada agar Pilkada yang memenuhi asas luber dan jurdil dapat terselenggara. Dengan demikian, mekanisme pemilihan Pilkada secara serentak ini, memiliki prospek dan manfaat yang dapat diperoleh dalam memperkuat sistem ketatanegaraan di Indonesia, termasuk memperkuat sistem pemerintahan di daerah.
PILKADA SERENTAK DAN KONSOLIDASI SISTEM DEMOKRASI PANCASILA
Beranjak dari prospek Pilkada serentak dan dinamika perkembangan demokrasi dan kepemerintahan (baca: ketatanegaraan) sebagaimana tersebut di atas, maka diharapkan peran KPU selaku penyelenggara Pilkada haruslah siap untuk senantiasa berdiri tegak bekerja dengan independen, profesional, imparsial, objektif, transparan, akuntabel, dan berintegritas. Dengan demikian, institusi penyelenggara Pilkada (termasuk Pemilu) di masa kini dan masa depan haruslah dikonstruksikan sebagai cabang keempat kekuasaan negara sebagai cabang kekuasaan pimilu demokratis (electoral power) disamping cabang kekuasaan eksekutif (executive power), legislatif (legislative power) dan yudikatif (judicial power). Cabang kekuasaan keempat inilah yang seharusnya diberikan kekuasaan yang penuh untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu mengenai administrasi Pilkada/Pemilu (voters), (ii) administrasi peserta Pilkada, termasuk (iii) kepartaian, pembentukan, pembekuan, dan pembubarannya. Dan hal-hal lain yang bersangkut-paut dengan kepemiluan sebagai satu kesatuan institusi penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Misalnya pembubaran partai politik oleh Mahkamah Konstitusi, sebaiknya legal standing (kedudukan hukum) untuk mengajukan permohonan diberikan kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) atau Komisi Pemilihan Umum (KPU), bukan kepada pemerintah seperti pengaturan yang ada sekarang. Sebaliknya, oleh karena kedudukannya yang sangat penting, tidak sembarangan orang yang dapat diangkat atau dipilih menjadi komisioner lembaga penyenggara pemilu ini. Sebagai lembaga penyelenggara pemilu selain mengemban tugas negara juga diharapkan seorang komisioner adalah seorang negarawan yang memiliki integritas moral yang tinggi.
Dengan demikian, diharapkan prospek pemilu-pemilu di Indonesia di masa mendatang akan berkembang semakin baik dari waktu ke waktu selain merupakan upaya konsolidasi terhadap sistem demokrasi Pancasila dalam sistem ketatanegaraan Indonesia juga tetap menempatkan demokrasi Pancasila sebagai “rule of election law”dan satu-satunya model demokrasi yang harus terus dikembangkan dalam kontek dinamika demokrasi dalam ketatanegaraan di Indonesia. Mengingat sejak era reformasi Indonesia, makna Pancasila sudah hampir dilupakan dalam kehidupan berbangsa, bermasyarakat dan bernegara, bahkan untuk menyebutkan kata Pancasila saja, rasanya sudah hampir hilang dari benak bangsa ini. Padahal, Pancasila adalah salah satu akar budaya bangsa yang khas yang telah hidup dan berakar di dalam kenyataan bangsa Indonesia sejak berabad-abad.
Oleh karena itu, melalui Pemilu serentak juga menjadi momentum penting untuk menempatkan kembali nilai-nilai dasar Pancasila sebagai akar budaya demokrasi di Indonesia unntuk membangun dan memperkuat sistem politik dan ketatanegaraan yang lebih demokratis berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini mengingat nilai-nilai dasar “demokrasi Pancasila” adalah model demokrasi yang esensinya tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia. Penguatan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila merupakan prerequisite dalam penguatan sistem pemerintahan daerah. Pengabaian terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasil yang bersifat piece-meal tidak akan pernah memecahkan persoalan Pemilu di Indonesia secara komprehensif dari waktu ke waktu. Perbaikan pada sistem Pemilu nasional dan mengabaikan sistem pemilu lokal tidak akan pernah efektif menuntaskan problem dan prospek pemilu serentak di Indonesia.
Penerapan sistem pemilihan serentak baik tahapan pemilihan Pilkada 2015, maupun pemilihan legislatif dan pemilihan presiden mulai tahun 2019 menyediakan momentum dan baik untuk dijadikan alasan untuk melakukan konsolidasi kebijakan sistem pemilu Indonesia di masa depan. Konsolisasi kebijakan itu perlu diarahkan untuk maksud konsolidasi ke sistem demokrasi Pancasila yang lebih efisien dan efektif dalam menciptakan sistem pemerintahan yang kuat, efektif, tetapi akuntabel dan berintegritas. Secara lebih khusus, konsolidasi sistem pemilihan umum itu akan turut mempengaruhi sistem demokrasi Indonesia yang lebih sehat dan kredibel di masa depan, yang tidak hanya bertumpu pada prinsip-prinsip demokrasi dan ‘rule of law’, tetapi juga berintegritas karena disadarkan atas prinsip-prinsip ‘rule of ethics’ yang efektif dan standar-standar ‘rule of electoral ethics’. Oleh karena itu, integritas pemilu menuntut kesadaran semua pihak untuk tunduk kepada prinsip hukum dan etika secara sekaligus. Sudah tentu, untuk memulainya, kita harus mendahulukan integritas penyelenggara pemilu. Karena itulah kita membangun sistem integritas penyelenggara pemilu dengan mendirikan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang berfungsi sebagai lembaga peradilan etika yang pertama dalam sejarah modern. Harapan kita, hendaknya pemilu-pemilu di Indonesia di masa mendatang akan berkembang semakin baik dari waktu ke waktu, bukan saja menurut ukuran ‘rule of electoral law, tetapi juga menurut standar-standar ‘rule of electoral ethics’.
PENUTUP
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang sebagai berikut :
1. Bahwa salah satu problem dalam implementasi kebijakan desentralisasi politik telah menimbulkan dinamika politik yang cukup tinggi dalam kurun waktu 2005 - 2017, di mana penyelenggaraan Pilkada membawa implikasi yang negatif di satu sisi, yakni membawa potensi tidak terselenggaranya pemerintahan daerah secara efektif dan akuntabel; terjadinya konflik horizontal; masyarakat terjebak dalam permainan politik uang (money politic) dalam memilih seorang calon kepala daerah dan yang paling krusial adalah terjadi politisasi dalam jabatan birokrasi pada setiap pergantian pimpinan daerah.
2. Format Pilkada yang ideal kedepan adalah meletakan kembali Pilkada secara konsisten dalam konfigurasi sistem demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, Pilkada serentak selain dimaksudkna untuk memperkuat tata kelola sistem pemerintahan daerah, juga dimaksudkan untuk memperkuat nilai-nilai demokrasi Pancasila di aras lokal; melahirkan pemerintahan daerah yang mampu menciptakan akuntabilitas dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan di daerah, kesetaraan hak warga negara dalam berpolikan yang pada gilirannya memperkuat demokrasi Pancasila di aras nasional; terciptanya efektivitas dan efisiensi anggaran negara serta menempatkan kembali nilai-nilai demokrasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk membangun Indonesia yang lebih bermartabat.
3. Bahwa Pemilu serentak menjadi momentum penting untuk menempatkan kembali nilai-nilai dasar Pancasila sebagai akar budaya demokrasi di Indonesia untuk membangun sistem politik dan ketatanegaraan yang lebih demokratis berdasarkan nilai-nilai Pancasila. Hal ini mengingat nilai-nilai dasar “demokrasi Pancasila” adalah model demokrasi yang esensinya tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa lain di dunia.
4. Oleh karena itu, dalam kontek perkembangan demokrasi Indonesia kedepan melalui Pemilu serentak diperlukan penguatan terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila merupakan prerequisite dan sebuah keniscayaan dalam penguatan sistem demokrasi lokal (pemerintahan daerah) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Pengabaian terhadap nilai-nilai demokrasi Pancasila yang bersifat piece-meal tidak akan pernah memecahkan persoalan Pemilu di Indonesia secara komprehensif dari waktu ke waktu. Perbaikan pada salah satu sistem Pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden dan mengabaikan sistem pemilu kepala daerah tidak akan pernah efektif menuntaskan sistem Pemilu dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, Jakarta, Konstitusi Press, 2014.
Clinton Rossiter, Parties and Party Politics in Amerika, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1960, page.1. Lihat juga Richard S. Katz dan William Crotty, Hand Book of Party Politics, London: SAGE Publications, 2006.
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Translated By Anders Wedberg. New York: Russel&Russel, 1973.
Jenedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Cetakan Pertama, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2012.
Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Cetakan Ketiga, Penerbit Konstitusi Press, Jakarta, 2006.
John Locke, Two Treaties of Civil Government, dalam MDA Freeman, Introduction to Jurisprudence, seventh ED, (London: Sweet & Maxwell Ltd, 2001.
K.C. Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Cetakan Pertama, Penerbit Pustaka Eureka, Surabaya, 2003.
Mirian Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 2000.
Saifudin, Partispasi Publik dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Yogyakarta, FH UII Press, 2009.
VCRAC Crabbe, Legislative Drafting. London: Cavendish Publishing Limited, 1994. Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik,
Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2009.
Yves and Andrew Knapp, Governmental and Politics in Western Europe: Britain, France, Italy, Germany, Third Edition, Oxford Universiy Press, 1998.
Majalah:
Majalah Suara KPU, “Agar Kampanye Tak Mengalami Distorsi”, Edisi II, Maret-April 2015.