PENGANGKATAN SUMPAH ADVOKAT YANG DIUSULKAN SELAIN PERADI DAN PELANGGARAN SUMPAH JABATAN KETUA MAHKAMAH AGUNG RI (Oleh: Shalih Mangara Sitompul)
- Latar Belakang
- Sumpah Jabatan dan Negara Hukum
- Pertama, penegasan bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara berpangkal kepada hukum (rule of law) bukan kepada seseorang (rule of men). Pengambilan sumpah jabatan tersebut pada saat yang sama juga menegaskan asas equality before the law atau persamaan kedudukan semua orang di hadapan hukum sehingga tidak ada seorangpun yang berada di atas hukum (no one above the law). Sekalipun pejabat yang bersumpah itu akan mendapatkan wewenang dalam ranah hukum publik yang bersifat imperatif (memaksa untuk dipatuhi), namun tidak lantas membuatnya berada dalam kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan warga negara lainnya. Di mata hukum kedudukannya tetap sama dan tidak lebih tinggi daripada kedudukan hukum orang lain pada umumnya. No one above the law juga bermakna bahwa terlepas segala kedudukan dan wewenang yang ia miliki karena jabatannya, hukum tetap dapat menindaknya apabila terbukti melakukan pelanggaran;
- Kedua, sumpah jabatan adalah janji atas pembatasan kekuasaan. Kekuasaan besar yang dimiliki seorang pejabat dibatasi oleh apa-apa yang dibolehkan dan dilarang oleh hukum. Para sarjana hukum memandang perlu membatasi kekuasaan karena sejarah telah membuktikan bahwa sifat dasar kekuasaan cenderung digunakan secara sewenang-wenang (corrupt). Karena itu untuk mencegah agar kekuasaan tidak dipergunakan secara sewenang-wenang harus ada pembatasan baik dari segi jangka waktu kepemilikan atas kekuasaan itu dan maupun ruang lingkup kekuasaannya. Sumpah setia kepada hukum adalah sebuah janji untuk mempergunakan wewenang dalam jabatan terbatas hanya untuk kepentingan hukum dan bukan untuk kepentingan pribadi (personal interest);
- Ketiga, sumpah jabatan sekaligus berfungsi sebagai kontrol publik. Sumpah setia kepada hukum memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menilai kredibilitas dan akuntabilitas pejabat publik. Dengan adanya sumpah tersebut, masyarakat dapat menilai kesesuaian antara sumpah dan janji yang diucapkan dengan pelaksanaannya di lapangan. Apabila ternyata melenceng dari sumpahnya, maka masyarakat menjadi memiliki ukuran untuk menilai apakah pejabat publik yang bersangkutan masih layak dipertahankan untuk menjalankan jabatannya atau selayaknya diberikan sanksi dan diganti.
- Sumpah Jabatan Ketua Mahkamah Agung
- Pengangkatan Sumpah Advokat Selain PERADI Wujud Pelanggaran Sumpah Ketua MA
Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan perselisihan tentang wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat yang tidak kunjung usai. Dalam putusannya yang terakhir yakni putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan setidaknya 4 (empat) hal terkait itu : (1) pertama, bahwa persoalan apakah para Advokat sebaiknya dibina di bawah naungan satu organisasi (single bar) ataupun banyak organisasi (multi bar) system, sepenuhnya adalah kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi hak Pemerintah dan DPR dengan memperhatikan aspirasi profesi Advokat; (2) kedua, penegasan bahwa PERADI adalah Organisasi Advokat yang berhak untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat; (3) ketiga, Penegasan bahwa para Advokat tidak dilarang untuk mendirikan wadah organisasi Advokat selain PERADI, namun tidak berarti organisasi yang didirikan tersebut berwenang menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat; (4) keempat, Penegasan bahwa urusan Penyumpahan Advokat yang diusulkan oleh Organisasi Advokat selain PERADI harus dikoordinasikan dengan PERADI[1].
Namun demikian, meskipun Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa sumpah Advokat selain PERADI itu harus dikoordinasikan dengan PERADI, pada faktanya Mahkamah Agung tetap menerima Pengangkatan sumpah Advokat yang diusulkan secara langsung oleh Organisasi Advokat selain PERADI. Diterimanya pengusulan sumpah oleh selain PERADI itu didasarkan kepada Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat. Ketentuan Angka 6 dari surat tersebut secara eksplisit membolehkan pengusulan sumpah Advokat yang disampaikan oleh Organisasi Advokat selain PERADI sebagai berikut : “bahwa terhadap Advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap Advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organsasi Advokat yang mengatasnamakan Peradi dan Pengurus Organisasi Advokat lainnya hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”.
Tindakan Ketua Mahkamah Agung yang tetap mempertahankan keberlakuan Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 memunculkan pertanyaan sebab Ketua Mahkamah Agung yang secara nyata menolak melaksanakan perintah putusan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi telah secara tegas menyatakan bahwa yang berkedudukan dan berwenang membina Advokat termasuk dalam hal ini mengusulkan penyumpahan Advokat hanyalah PERADI, Namun setiap pengusulan sumpah Advokat yang diajukan organisasi Advokat selain PERADI tetap diterima dan dilaksanakan Penyumpahannya. Atas sikap ketua MA yang menolak merevisi ataupun mencabut surat tersebut, dapatkah dikatakan bahwa ketua Mahkamah Agung telah secara nyata melanggar sumpah jabatannya? Jika benar demikian, apa tanggung jawab hukum yang dapat dikenakan kepada ketua Mahkamah Agung RI?
Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yang dimaksud adalah rechstaat yang pernah diulas oleh Frederich Julius Stahl yang salah satu cirinya adalah “pemerintahan berdasarkan undang-undang dasar”. Dari pengakuan itu membawa konsekuensi bahwa semua tindak tanduk negara harus ada dasar hukumya dan harus selaras dengan amanat undang-undang dasar, termasuk ketika akan mengangkat seseorang untuk menduduki suatu jabatan publik.
Pengucapan sumpah atau janji jabatan dalam pelantikan pejabat publik adalah sebagai konsekuensi dari negara hukum, sebab Substansi sumpah berisi janji setia kepada hukum. Sumpah jabatan mencerminkan hal-hal sebagai berikut :
Sama halnya dengan pejabat-pejabat negara lainnya, sebelum menjalankan wewenang, tugas dan fungsinya, Ketua Mahkamah Agung diwajibkan untuk mengambil sumpah jabatan (oath of office). Kewajiban itu tertera jelas dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 03 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dimana dikatakan:
Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban Ketua atau Wakil Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik- baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa
Dari bunyi sumpah tersebut, Seorang Ketua Mahkamah Agung berjanji untuk setidaknya melaksanakan 3 (tiga) hal yakni : (1) pertama, Memenuhi Kewajiban Ketua Mahkamah Agung dengan sebaik-baiknya dan Seadil-adilnya; (2) kedua, Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945; (3) ketiga, Berbakti kepada nusa dan bangsa. Menjadi pertanyaan kemudian, jika ketua Mahkamah Agung melakukan tindakan yang melanggar salah satu dari ketiga poin sumpahnya itu, apa konsekuensi hukum yang akan diterima olehnya?. Dapatkah pelanggaran itu menjadi dasar untuk memberikan sanksi administrasi berat bahkan sampai memberhentikannya dari jabatan Ketua?.
Jika ditelusuri seluruh ketentuan tentang pelanggaran sumpah jabatan, tidak akan ditemukan satupun pasal yang mengatur tentang konsekuensi hukum jika ketua MA melanggar sumpah jabatannya itu. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Satu-satunya ketentuan yang mengatur tentang pelanggaran sumpah hanya diatur untuk jabatan hakim agung saja. Pasal 11 A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Hakim Agung dapat diberhentikan tidak dengan hormat dalam masa jabatannya apabila salah satunya : “d. Melanggar sumpah atau janji jabatan”. Sementara satu-satunya pasal yang mengatur tentang pemberhentian ketua Mahkamah Agung hanyalah Pasal 11 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, dimana Ketua Mahkamah Agung dapat diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena alasan : (1) meninggal dunia, (2) telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; (3) atas permintaan sendiri secara tertulis; (4) sakit jasmani atau rohani secara terus menerus selama 3 (tiga) bulan berturut-turut yang dibuktikan dengan surat dokter; atau (5) ternyata tidak cakap dalam menjalankan tugasnya.
Dengan kata lain, satu-satunya ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang mengatur tentang konsekuensi pelanggaran sumpah jabatan hanya ditujukan kepada Hakim Agung saja, namun terhadap ketua Mahkamah Agung masih menyisakan pertanyaan sebab tidak terdapat satupun pasal yang mengatur konsekuensi hukum jika ketua Mahkamah Agung melakukan tindakan yang secara nyata bertentangan dengan sumpah jabatannya. Betulkah pelanggaran sumpah Ketua Mahkamah Agung tidak dapat dikenakan sanksi apapun?
Sebagaimana telah diutarakan di awal tulisan ini, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang kemudian dikuatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 telah menegaskan bahwa PERADI adalah satu-satunya Organisasi Advokat yang berwenang untuk melaksanakan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Advokat, termasuk salah satu di dalamnya adalah wewenang untuk mengusulkan sumpah Advkoat ke Pengadilan Tinggi. Dalam kenyataannya, Pengusulan Sumpah Advokat oleh Organisasi Selain PERADI ternyata tetap bisa dilakukan dan dibolehkan oleh Mahkamah Agung dengan landasan hukum berupa Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang sumpah Advokat. Meskipun telah ditegaskan tidak berwenang oleh Mahkamah Konstitusi, Poin 6 Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 itu secara tegas membolehkan pengusulan sumpah Advokat oleh Organisasi manapun selain PERADI. Meski jelas-jelas bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi, tidak ada tanda-tanda Ketua Mahkamah Agung akan mencabut surat tersebut.
Pertanyaan selanjutnya adalah dapatkah sikap Ketua Mahkamah Agung yang mempertahankan Surat tersebut dipandang sebagai pelanggaran atas sumpah Jabatan? Tentu saja hal itu benar adanya. Putusan Mahkamah Konstitusi adalah putusan yang diambil dengan tujuan untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Karena itu, ketika Mahkamah Konstitusi telah menerbitkan putusannya, Mahkamah Agung juga turut terikat dengan putusan tersebut sebab dengan melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi itu, Mahkamah Agung telah memenuhi sumpah jabatannya yang akan “Memegang teguh UUD Tahun 1945 dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Tahun 1945”. Sebaliknya, Jika Mahkamah Agung mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi, maka Pengabaian atas putusan Mahkamah Konstitusi secara nyata berarti mengabaikan sumpah jabatannya sendiri.
Terlebih ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa “Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum”. Dengan kata lain, putusan Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan undang-undang yang mengikat umum termasuk ketua Mahkamah Agung RI dan berlaku secara kedepan secara prospektif. Karena itu, ketika putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 keluar pada tanggal 07 Oktober 2018. Maka sejak saat itu semestinya Mahkamah Agung menindaklanjutinya dengan melakukan revisi ataupun mencabut Surat Ketua Mahkamah Agung Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.
Pada faktanya, hingga saat ini Mahkamah Agung tidak menindaklanjuti hal itu sehingga pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi itu jelaslah sebuah pelanggaran atas sumpah jabatan yang telah dia ucapkan. Namun demikian, mengacu kepada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, atas pelanggaran sumpah jabatannya itu, tidak ada satupun ketentuan pasal yang memuat sanksi yang dapat dikenakan kepada Ketua Mahkamah Agung. Padahal dua cabang kekuasaan lainnya yakni Kepala Eksekutif (presiden)[2] dan maupun kepala Legislatif (DPR)[3] sama-sama dapat di-remove dari kantor dan kedudukannya apabila terbuki melanggar sumpah jabatan. Mengapa Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang kedudukannya sangat vital karena menyangkut hak atas keadilan masyarakat justru tidak terdapat sanksi jika melanggar sumpah jabatannya? Hal itu menjadi kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 yang dapat ditindaklanjuti dengan legislative review yang dapat ditindaklanjuti dengan revisi/penggantian ataupun melalui judicial review untuk dapat memperluas tafsir konsekuensi hukum jika hakim agung melanggar sumpah jabatannya mutatis mutandis juga berlaku kepada jabatan Ketua[4].
Bahwa tindakan Ketua Mahkamah Agung mempertahankan SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 jelaslah melanggar sumpah jabatannya. Pelanggaran atas sumpah jabatan itu adalah pelanggaran dalam ranah hukum administrasi sehingga layaknya dua jabatan sebelumnya, sanksi yang dapat dikenakan juga adalah berupa sanksi administrasi. Akan tetapi, jika mengacu kepada ketentuan hukum yang berlaku saat itu, atas “tindakan” nya itu tidak dapat diproses untuk diberikan sanksi administrasi sebab tidak ada satupun ketentuan yang mengatur tentang hal itu. Ketiadaan aturan untuk memprosesnya tentu saja membuat tidak ada sanksi yang dapat dikenakan kepada jabatan ketua Mahkamah Agung atas “tindakan” nya itu.
Di sisi lain, terhadap produknya sendiri yakni SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 secara hukum tetap dapat dilakukan upaya hukum pembatalan baik melalui upaya administratif dengan mengajukan keberatan kepada Ketua Mahkamah Agung dan dikuatkan pula dengan Rekomendasi dari Ombudsman Republik Indonesia. Selain itu, upaya pembatalan dapat pula ditempuh dengan mengajukan permohonan fiktif positif kepada Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta dalam tempo 10 (sepuluh hari) yang terlewati setelah terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Ketua Mahkamah Agung agar merevisi/mencabut SK Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015.
1Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-XVII/2018.,hal 318
2Presiden dapat di-impeached kalau terbukti melakukan pelanggaran hukum sebagaimana disebutkan Pasal 7A yakni melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, dan tindak pidana berat lainnya. Meskipun tidak disebutkan melanggar sumpah jabatannya, namun pelanggaran-pelanggaran itu jika dilakukan secara nyata juga berarti melanggar sumpah jabatannya yang berjanji “memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala undang-undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti keapda nusa dan bangsa”
3Pasal 87 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2017 mengatakan “Pimpinan DPR diberhentikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c apabila...b. Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR berdasarkan keputusan rapat paripurna setelah dilakukan pemeriksaan oleh Mahkamah Kehormatan DPR”
4Jika ditelusuri kepada ketentuan Undang-Undang MA di masa lalu, pelanggaran sumpah oleh Ketua Mahkamah Agung ternyata ada sanksinya, namun ketentuan itu dihapuskan oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009. Lihat ketentuan Pasal 12 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 yakni Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Mahkamah Agung dengan alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan . Dalam perubahannya yakni Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, ketentuan Pasal 12 itu ternyata masih dipertahankan, sebagaimana dikatakan “Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Anggota Mahkamah Agung diberhentikan tidak dengan hormat dari jabatannya oleh Presiden atas usul Mahkamah Agung dengan alasan: d. Melanggar sumpah atau janji jabatan”