Masukan RUU Jabatan Hakim INFALLIBILITAS BUKAN IMUNITAS TANGGUNGJAWAB HAKIM Oleh: Nikolas Simanjuntak, S.H., M.H.
Masukan RUU Jabatan Hakim
INFALLIBILITAS BUKAN IMUNITAS TANGGUNGJAWAB HAKIM
Nikolas Simanjuntak [Email: nsplaw@gmail.com]
DPN PERADI Bidang Kajian Hukum & Perundang-undangan, Pengajar Hukum & HAM
RUU Jabatan Hakim (draft 18 April 2016) merumuskan Jabatan Hakim sebagai “pelaksana kekuasaan kehakiman dalam memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara”. Tujuan penyelenggaraan Jabatan Hakim untuk: (a) mewujudkan kemandirian Hakim dalam melaksanakan fungsi dan tujuannya, (b) menjaga kehormatan dan keluhuran martabat Hakim, (c) meningkatkan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas Hakim dalam menegakkan hukum dan keadilan, (d) memberikan perlindungan Hakim dan (e) meningkatkan kesejahteraan Hakim. Penilaian kinerja Hakim dilakukan terhadap teknis peradilan dan administrasi peradilan. Pengawasan Hakim meliputi pengawasan terhadap teknis yudisial (oleh Pengadilan tingkat atasan), penilaian kinerja (oleh Mahkamah Agung), dan pengawasan terhadap perilaku Hakim (oleh Komisi Yudisial).
Titik kritis RUU Jabatan Hakim selama ini, dengan menyimak beberapa ketentuan dalam draft di atas itu, utamanya sangat krusial mengenai tanggung-jawab Hakim selaku profesional yang disumpah, juga tanggung-jawab selaku intelektual, dan selaku pejabat negara. Praktik infallibilitas Hakim (ketakmungkinan keliru) selama ini seringkali disalah-pahami seakan-itu akan jadi sama dengan imunitas juga (kekebalan hukum). Namun, draft RUU ini dan Naskah Akademiknya belum cukup tegas menjangkau fokus implikasi itu untuk dijadikan solusi dengan memberlakukan UU ini.
Kesalahpahaman membedakan infallibilitas dengan imunitas yang melekat pada jabatan hakim pengadilan, merupakan hulu yang bisa jadi berakibat keliru sampai dengan tahap eksekusi di posisi hilir. Imunitas (immunity) hakim, yang juga dimiliki profesi Advokat dan beberapa profesi lainnya, dimaksudkan sebagai “kekebalan untuk tidak boleh dihukum” karena dia immun selama dalam melaksanakan profesinya. Infallibilitas adalah keadaan yang tidak-mungkin bersalah (infallibility) dalam melaksanakan jabatannya. Latar sejarah infallibilitas bisa ditelusuri ke suatu masa kekuasaan negara di Eropah pada abad ke-5 sampai ke-16, dimana imunitas dan infallibilitas, pernah diklaim sebagai milik penguasa negara dan para pejabat atas nama negara, karena kuasa negara menyatu dengan kuasa agama dengan bersandar pada ayat suci ini “Dabo claves tibi regni caelorum”. Namun era itu sudah berakhir lama sekali tetapi sisa-sisanya masih saja merasuk alam bawah sadar para penguasa dan pejabat peradilan.
Peradilan sesat (miscarriage of justice) adalah muara akhir dari keliru eksekusi sebagai akibat infallibilitas yang disalahpahami seakan itu jadi imunitas, yang dibiarkan begitu saja karena putusan sudah berkekuatan-hukum pasti (inkracht van gewijsde verklaard). Miscarriage yang dikenal sebagai dwaling atau kekeliruan bisa timbul karena error in juris, error in facti, atau error in persona. Padahal, putusan inkracht yang terjadi karena infallibilitas itu justru jadi disfungsi adab hukum, bahkan telah mendegradasi peradaban kemanusiaan bangsa dan negara secara sangat serius. Terjadinya infallibilitas yang sudah sering ditemukan melalui berbagai riset, sekurang-kurangnya timbul karena 4 (empat) hal ini: (1) sesat sistem pikir, (2) sesat informasi, (3) dangkal (banalitas) pemahaman teks dan konteks kasus, serta (4) buta hati terhadap keyakinan nurani di hening bening lepas-bebas (zero mind process) tanpa konflik di relung lubuk hati terdalam yang berada di luar garis demarkasi kepentingan apa pun juga.
Konteks situasi di atas itulah yang menjadi penjelas terhadap banyak kasus in concreto yang banyak terjadi selama ini dan tanpa solusi konstitusional. Pengadilan untuk dan atas negara beradab dengan kemanusiaan yang adil demi Ketuhanan Yang Maha Esa (Pancasila) harus membuat koreksi yuridis terhadap kekeliruan itu menghindarkan miscarriage of justice (peradilan sesat) dari suatu negara modern. Mengapa? Karena secara ilmiah, etis, dan formal yuridis, setiap Hakim dituntut untuk mempertanggung-jawabkan kebenaran putusan hukum yang ditetapkannya kepada sekurang-kurangnya 6 (enam) pihak sekaligus kumulatif, yakni kepada: (1) para pejabat atasan dalam upaya hukum; (2) para pejabat administratif atasan selaku pejabat negara; (3) masyarakat ilmiah pada umumnya, (4) kalangan intelektual/ahli teoritis dan praktisi hukum; (5) negara dan bangsa yang berdasarkan Tuhan Yang Mahaesa; dan (6) Tuhan atau Allah S.W.T. berdasarkan sumpah profesi menurut keyakinan yang diimani suara hati manusiawinya.
1. Menghindarkan Sirkus Hukum dan Sesat Logika
Uraian penjelas terhadap konteks situasi di atas itu bisa ditelusuri dari Bab-bab berkaitan di dalam Buku yang kami tulis berjudul “Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum”Penerbit Ghalia Indonesia, 2009, yang antara lain sebagaimana berikut ini. Juga pada Bab-bab yang relevan di dalam buku terbaru kami berjudul “Hak-hak Asasi Manusia dalam Soliloqui Pertarungan Peradaban” (dalam proses cetak, 2015). Rujukan lebih jauh bisa ditelusur ke berbagai referensi tertulis maupun hasil temuan riset yang ada di dalamnya.
Patut dicermati teliti bahwa sesungguhnya kerahasiaan putusan, adalah perlindungan hukum kepada hakim dalam kebebasannya untuk memilih dan menentukan putusan. Namun, kerahasiaan itu sebagai bagian dari immunitas, yang berarti tidak mungkin boleh dihukum (kebal hukum). Tetapi itu bukanlah dengan sendirinya menjadi berarti sebagai infallibilitas, atau ketidak-mungkinan salah memutuskan. Setiap putusan hakim adalah atas nama dan demi Tuhan Yang Maha Esa. Dan itulah irah-irah putusan pengadilan yang sampai hari ini dikenal. Akar substansi paham itu bahwa hakim pemegang kuasa akhir atas nasib manusia di muka bumi ini. Konsekuensi logisnya memang, karena itu hakim tidak boleh dihukum (immunitas) karena untuk itu dia tidak mungkin bersalah (infallible). Tetapi benarkah paham seperti itu hingga sekarang ini (hic et nunc) dalam konteks antropo-sosiologis Indonesia pasca-modern? Ketika di Eropah sendiri pun, kuasa negara tidak lagi menyatu dengan wewenang surgawi?
Dalam sistem peradilan di Indonesia, sudah sejak lama hingga kini, dianut satu paham yang masih berlaku dan diresmikan ke dalam ketentuan Surat Edaran Mahkamah Agung(SEMA)RI No.9 Thn 1976 tentang Hakim Tidak Dapat Digugat dan Tidak Dapat Dipersalahkan. Pada intinya, bahkan pun bilamana hakim salah dalam menerapkan sistem peradilan, dia tetap tidak boleh diperiksa dan diadili karena kasus itu. Maksudnya jelas, demi melindungi immunitas hakim dalam sistem peradilan seperti paham di atas itu. Persoalan di dalamnya, bagaimana apabila nyata sungguh ada hakim yang salah dalam melakukan sistem peradilan? Apakah konteks imunitas hakim di Indonesia dengan itu masih dalam korelasi moral filosofis dengan konteks negara agama yang sudah kuno?
Imunitas hakim adalah untuk mencegah penyelenggara pemerintahan agar tidak bertindak menindas dan semena-mena. Sebab, tugas, dan tanggung-jawab, berdasarkan wewenang dan kewajiban yang diemban setiap badan maupun pejabat penyelenggara pemerintahan negara adalah persis sama saja dengan esensi keadilan yang hendak ditegakkan oleh kekuasaan Kehakiman, yakni tujuan negara sebagaimana di dalam Pembukaan UUD 1945 itu. Imunitas hakim bertujuan menilai keabsahan hukum setiap tindakan dan keputusan pemerintahan, atau suatu peraturan perundang-undangan, agar sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik. Karena itu berarti, imunitas Hakim bertujuan secara esensial untuk mengadili setiap perkara, apakah setiap ketentuan hukum positif maupun penggunaan wewenang kebebasan diskresioner badan atau pejabat dipergunakan untuk menerapkan keadilan.
Dari konteks di atas itu kiranya dapat dipahami bahwa setiap putusan hakim pengadilan, baik yang berlaku inter partes (hanya bagi para pihak yang berperkara) maupun dan terutama yang erga omnes (berlaku umum di luar pihak yang berperkara) adalah sebagai karya kecerdasan yang seyogianya harus tetap terbuka untuk uji kualitas. Oleh sebab itu, SEMA Thn 1976 bukanlah berarti sekaligus sebagai infallibilitas. Sebab masih mungkin diajukan uji kualitas terhadap hakim, walaupun tidak bermaksud untuk menghukumnya dalam proses peradilan hakim. Karena itu, fungsi dan peran Komisi Yudisial (KY) menurut UUD RI Thn 1945 Pasal 24B dan UU Kehakiman (UU No. 4 Thn 2004) Pasal 34 ayat (3) bisa dipahami juga dalam rangka menjaga dan menguji kualitas hakim itu sendiri untuk mempertanggung-jawabkan putusannya sebagai karya intelektual, praktik moral etika profesi, dan selaku pejabat negara yang menyelenggarakan konstitusi, sebagaimana akan lebih jelas selanjutnya mengenai tanggung-jawab kebenaran putusan hakim.
Salah satu yang sudah disinggung sebagai rumus ilmu logika adalah dalil tantum valet auctoritas, quantum valet argumentatio. Dalil ini sangat kontekstual dan aktual untuk menguji kualitas putusan dengan berpatokan pada kepercayaan (trust) dan kepastian wibawa (credential) argumentasi yang mengandalkan alur-logika, tidak sekadar posisi jabatan berdekorasi otoritas. Kebenaran yang hanya bersandar pada jabatan semata disebut sebagai kebenaran otoritatif dekoratif, akan jauh dari nilai kepercayaan dan wibawa yang berkharisma. Relevansi konteks dalil itu dalam penentuan putusan adalah bahwa kebenaran hukum yang ditetapkan, bukanlah tergantung kepada Hakim yang mengatakannya dikarenakan dia menjabat Hakim. Tetapi karena kerangka logika argumentasi yang disusun untuk menetapkan kebenaran hukum itu, memang bisa dipercaya dan dipertanggung-jawabkan secara terukur karena valid, otentik, dan akurat.
Sistem logika berfikir yang nyata salah secara metodologis sehingga kebenaran yang dihasilkannya juga salah dan mengelirukan, harus ditolak sama sekali. Jika pun orang yang menetapkan kebenaran itu adalah pejabat yang sah berwenang (otoritatif) haruslah ditolak mentah-mentah. Sebab itu, kebenaran otoritatif dekoratif tidak selalu menjadi kebenaran hukum yang benar-benar otentik dan valid, sebab nyata tidak akurat. Masih ada jarak yang terbentang antara kebenaran otoritatif dengan kebenaran otentik. Ideal memang, kebenaran otoritatif putusan Hakim haruslah identik menjadi kebenaran yang otentik, valid, dan akurat. Itulah sebabnya, untuk memutuskan kebenaran putusan hakim diperlukan kontestasi perlawanan ekstrim di sepanjang acara pengadilan.
Susunan kerangka logika kebenaran putusan itu haruslah dipertanggung-jawabkan oleh Hakim, bukan hanya dalam arti tanggung-jawab wewenang jabatan kenegaraan saja. Esensi tanggung-jawab itu juga meliputi pertanggung-jawaban teoritis ilmiah selaku ahli dan praktisi, yang mengemban fungsi profesi pemutus penegakan hukum berkepastian.
Beban tanggung-jawab itu juga meliputi Etika Profesi, yang mengandung esensi mendalam (duc in altum) secara transenden dan immanen. Tindakan profesional untuk memutuskan kebenaran hukum menuntut standar yang terukur dalam best practices and best efforts. Tindakan itu juga berarti sebagai kewajiban manusia profesional selaku mahluk individual dan sosial dalam etika praktis, untuk mempertanggung-jawabkan tuntutan suara hatinya kepada Yang Ilahi. Lagi pula tuntutan itu semakin dipertegas lagi dengan formalitas putusan berkepala, irah-irah, Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Oleh sebab itu secara ilmiah, etis, dan formal yuridis, maka setiap Hakim dituntut untuk mempertanggung-jawabkan kebenaran putusan hukum yang ditetapkannya kepada sekurang-kurangnya 6 (enam) pihak sekaligus kumulatif, yakni kepada: (1) para pejabat atasan dalam upaya hukum; (2) para pejabat administratif atasan selaku pejabat negara; (3) masyarakat ilmiah pada umumnya, (4) kalangan intelektual/ahli teoritis dan praktisi hukum; (5) negara dan bangsa yang berdasarkan Tuhan Yang Mahaesa; dan (6) Tuhan atau Allah S.W.T. menurut keyakinan yang diimani suara hati manusiawinya.
Betapa penting, luhur, dan mulianya pertanggung-jawaban kualitas tak-terbantahkan atas kebenaran putusan Hakim, karena secara ekstrim akibat putusan itu akan mengubah nasib orang dengan mengakhiri kebebasan orang yang dipenjara. Meniadakan hak orang yang disita harta-bendanya. Bahkan pun bisa juga mencabut nyawa seorang yang dihukum mati. Putusan hakim yang berkekuatan tetap (inkracht) menjadi puncak akhir peradaban bangsa negara dari seluruh rangkaian norma etika individual dan sosial.
Makna keyakinan hatinurani sungguh perlu dipahami, agar lagi-lagi tidak terjadi salah kaprah. Dan lebih lagi, agar di dalam praktiknya jangan sampai ada yang mempermain-mainkan keyakinan hatinurani, seakan-akan itu hanya produk imajinasi dari hasil pikiran spekulatif, yang bersandarkan motivasi naluri primitif inderawi untuk menentukan putusan sebagai rekayasa kebenaran. Kecerdikan mengelabui orang lain dengan alasan sesuai keyakinan nurani, padahal untuk meperoleh keuntungan inderawi adalah bagian dari permainan sirkus terhadap pemahaman yang keliru terhadap hatinurani. Kecerdikan bermain sirkus itu bisa dikemas lagi untuk mengelirukan orang lain, yang tidak paham liku-liku teknis yuridis sistem pembuktian sebagaimana uraian teoritis di atas.
Tanpa sadar, jika kecerdikan itu digunakan dengan motivasi naluri primitif inderawi, justru perbuatan itu sungguh melawan hatinurani. Itu bahkan secara normatif menjadi kejahatan representasi profesi yang sungguh benar canggih sebagai fraudulent misrepresentation. Yakni penipuan yang dirangkai dengan kecanggihan teknis ilmiah sehingga orang yang tidak ahli menjadi tidak sadar lagi, bahwa di dalamnya ada penipuan dan pengelabuan, kecuali itu hanya dapat ditelusuri oleh orang yang sama canggih keahliannya dengan si penipu yang bermain sirkus intelektual tersebut.
Naluri primitif sebagai ancaman bahaya yang harus dihindarkan, telah beberapa kali disebutkan pada bagian-bagian terdahulu buku ini. Naluri primitif itu senantiasa berbentuk rangsangan kepentingan ego manusia untuk menang sendiri. Apalagi jika itu diperoleh dengan menggunakan wewenang jabatan, sehingga hasilnya menjadi kebenaran otoritatif semata tanpa argumentasi yang berkualitas. Kepentingan sendiri itu bisa jadi juga untuk kepentingan uang, jabatan, pertemanan, kuasa, dan bentuk-bentuk kemudahan lainnya tanpa kerja-keras manusiawi yang beradab.
Keyakinan hatinurani yang lepas bebas di luar garis demarkasi segala kepentingan, hanya bisa muncul dari suasana hening bening, hanya mungkin ternoda jika dicampuri oleh rangsangan naluri primitif dengan nafsu, uang, dan kepentingan yang sejenisnya. Kecuali oleh naluri primitif itu, daya-dorong suara hati hanya mungkin menjadi macet atau buntu karena buta hati atau sesat pikir dan sesat hati, akibat sudah terbiasa membungkam suarahati dengan naluri primitif inderawi. Sesat-pikir dan sesat-hati bisa terjadi bagi seseorang yang tak-pernah melatih nalar dan akal-budi dengan olah-pikir bolak-balik berolah-nurani. Bagaikan tangan dan otot kaki tak-bisa lentur bergerak-jalan, karena organ-organ jaringan otot tubuh tak-pernah dilatih berolah-raga fisik.
Bagaimana menelusuri jika ada manipulasi karena kepentingan? Setiap adanya manipulasi keyakinan atau pengaruh rangsangan benturan kepentingan, maka akan tampak di dalam pertimbangan yang tidak best efforts and best practices menurut rumus metodologi praksis dan teoritis. Dan, bilamana ada sesat-pikir dan sesat-hati, maka itu akan tampak dari pertimbangan yang macet logika dan buntu proses intelektual atau terjadi pendangkalan (banalitas) karena malas berfikir. Itulah yang menghasilkan kuasi kebenaran atau rekayasa kebenaran dalam bentuk yang disebut terdahulu, misalnya karena latius hos akibat tidak sempurna premis logika. Atau, melulu bersandar pada nalar kebenaran otoritatif dekorasi jabatan dengan mengorbankan argumentasi logika rasional. Atau, bisa juga di dalam pertimbangan itu terdapat campur-baur kronologis dengan kausalitas, dsb. Tanda-tanda lahir visual dari adanya manipulasi lumuran noda bercak yang tidak best efforts and best practices akan sangat mudah dikenali oleh sesama profesional, seperti seorang dokter ahli yang sedang memeriksa pasien.
2. Menghindarkan Peradilan Sesat (Miscarriage of Justice)
Contoh bench-marking dokter ahli di atas itu mungkin bisa relevan dengan konteks situasi terkini yang dilaporkan ICW kepada Komisi Yudisial Diketahui ada 56 orang Hakim bermasalah yang diminta agar segera diselidiki. Diantaranya diutarakan ada sebanyak 33 Hakim yang bermasalah dalam memutuskan kasus illegal logging selama tahun 2005-2008. Bagaimana itu bisa ditelusuri? Antara lain dengan meneliti pertimbangan yang tidak best efforts and best practices seperti diuraikan di atas itu. Putusannya nampak kental dengan keyakinan yang tidak bebas-lepas, akibat terkuak adanya benturan kepentingan akan nafsu naluri primitif, bisa-jadi demi uang atau nilai ekonomis lainnya atau pertemanan.
Temuan lain berikut ini bisa disimak sharing dari wawancara dengan Prof. Zainal Asikin Kusumah Atmadja SH. Ketika itu Prof. Asikin, selaku Ketua Majelis Hakim Agung MA, sedang ramai disanjung masyarakat dan diwaspadai oleh penguasa Orde Baru, karena keputusannya mengabulkan tuntutan ganti rugi kepada pemerintah dalam kasus Kedungombo. Katanya, “saya berani mengatakan, hakim yang tidak baik 50%. Sekali lagi jangan suruh saya membuktikan… Ada hakim yang sebenarnya beritikad baik, tapi salah karena tidak tahu [NS: sesat-pikir]. Ada yang tahu tapi memang sengaja berbuat tidak baik meskipun dia tahu bahwa itu tidak benar [NS: buta-hati]. Hakim yang pengetahuan hukumnya kurang, salah-salah bisa merugikan pencari keadilan [NS: banalitas] … Ini kan repot. Ini kan wajib dia ketahui. Padahal hakim sekarang tantangannya begitu berat, banyak perkembangan-perkembangan baru yang seharusnya dia ikuti, di bidang lingkungan, soal aborsi, hukum ekonomi, dan lain-lainnya [NS: juga teknologi telematika, gelombang elektromagnetik]. Saya juga prihatin karena kesempatan belajar hakim ternyata juga tak cukup merata… Bagi hakim-hakim yang sudah ada pembinaan sangat penting. Seharusnya ada buku konduite hakim yang obyektif, tidak berdasarkan like and dislike… Eksaminasi tidak jalan.. ”
Catatan para praktisi dan ahli hukum Indonesia sudah semakin sering mengungkapkan kasus kegagalan penegakan keadilan (miscarriage of justice). Namun kasus-kasus seperti ini juga terjadi di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Australia. Aspek yang terkandung di dalamnya meliputi perspektif hukum, politik, dan sosial yang terkait dengan sistem peradilan pidana. Berbagai lembaga independen terus menyuarakan dan memperjuangkan keadilan bagi para korban miscarriage of justice. Diantaranya yang dirilis oleh Forejustice, hingga saat ini (2008) ada terdaftar 2.539 korban miscarriage of justiceyang terjadi di dunia dan tersebar di 70 negara. Apakah yang bisa digambarkan dari data itu?
Korban sebanyak itu menunjukkan adanya 4 (empat) hal yang perlu disimak dengan seksama. Pertama, sebagian besar kasus miscarriage of justice terjadi di negara-negara maju yang memiliki sistem peradilan pidana yang mapan dan sangat peduli dengan persoalan penegakan hukum dan masalah hak-hak asasi manusia. Kedua, sistem peradilan pidana di negara-negara tersebut, ternyata menunjukkan pula kegagalan dalam menegakkan keadilan. Ketiga, kegagalan tersebut menunjukkan fakta bahwa miscarriage of justice merupakan masalah yang serius dan bersifat universal. Keempat, menguatnya kesadaran masyarakat internasional akan seriusnya masalah miscarriage of justice. Lalu, inspirasi apa yang bisa dipetik dari paparan itu untuk berusaha mencari solusi pengembangan dan perbaikan hukum acara?
Dalam pidato pengukuhan Gurubesarnya, OC Kaligis, antara lain mengusulkan sistem peradilan pidana dengan pendekatan keadilan restoratif. Menurut data yang ada, sistem restoratif ini telah mulai diterapkan di Kanada pada akhir tahun 1970-an. Dalam program restoratif, pandangan bahwa konflik yang disebut kejahatan haruslah dilihat pertama-tama bukan semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara. Tetapi konflik yang merepresentasikan terputusnya dan terpecahnya relasi antara dua atau lebih orang dalam masyarakat. Karena itu, para korban, pelaku tindak pidana, dan komunitas, sejauh mungkin berpartisipasi dalam menangani kerusakan atau kerugian dari tindak pidana tersebut. Di dalam sistem itu, fungsi Polisi, Penuntut umum, Hakim, dan Advokat adalah melakukan peran yang spesifik bervariasi sesuai dengan program.
Salah satu tujuan dari pendekatan restoratif adalah untuk mencapai konsensus mengenai solusi yang paling baik untuk menyelesaikan konflik. Keadilan restoratif merupakan suatu cara baru dalam melihat peradilan pidana yang berpusat pada perbaikan kerusakan dan kerugian korban dan hubungan antar manusia, daripada sekadar menghukum pelaku tindak pidana. Negara yang dipresentasikan oleh institusi-institusi penegak hukum, tidak mengambil-alih penyelesaian konflik yang merupakan kejahatan. Karena suatu tindak pidana dalam keadilan restoratif tidak dipandang sebagai kejahatan terhadap negara, melainkan terhadap anggota masyarakat yang menjadi korban.
Dengan dan atas kerja-bersama semua pihak yang antara lain tersebut itu, akan semakin tidak ada lagi miscarriage of justice. Terjadinya miscarriage yang dikenal sebagai dwaling atau kekeliruan bisa timbul karena error in juris, error in facti, atau error in persona. Untuk menghindarkan semua errors itulah, maka hukum acara ke depan menjadi benar-benar sebagai instrumen pemberadaban (civilisation) untuk merasionalkan naluri primitif yang selama ini masih sering terjadi di hadapan mata masyarakat. Kiranya itu bukan hanya harapan semata. Tetapi terlebih lagi sebagai pengalaman yang menggairahkan dan menggerakkan, karena begitu menggetarkan, tremendum et fascinosum, untuk bersikap-tindak atas motivasi sadar dorongan suara hati dari dan oleh semua orang yang berkehendak baik untuk menghindarkan error.
3. Judicial Dictatorship
Berbagai studi telah mengungkapkan betapa sistem kelembagaan pengadilan pada saat ini kurang berfungsi dalam mencapai tujuannya untuk memberikan keadilan, halmana telah menjadi pembicaraan di hampir semua forum publik, akademis, politis, dan lingkungan legislasi. Diantara beberapa faktor yang terungkap yakni: pertama, terjadinya tumpukan perkara yang kronis (cautio judicium solvi) atau disebut juga sebagai kongesti pemeriksaan perkara yang terus-menerus tidak dapat diatasi, misalnya tahun 2005 diberitakan ada 20.000 tunggakan perkara di MA, karena pengadilan tidak mempunyai ruang dan kesempatan yang memadai untuk menggali dan menemukan ‘nilai-nilai dan hukum yang hidup dan berkembang’ di masyarakat. Kedua, seringkali ada itikat buruk untuk mengulur-ulur waktu dengan upaya hukum sebagai akibat tingginya tingkat ketidak-puasan terhadap putusan pengadilan. Ketiga, produktivitas putusan pengadilan yang berkualitas sangat rendah, akibat berbagai kendala yang terus-menerus tidak bisa diatasi, sehingga tidak banyak putusan pengadilan yang dapat dikategorikan sebagai yurisprudensi tetap yang merupakan salah satu sumber hukum menurut doktrin hukum Indonesia.
Dengan ketentuan UU yang mengharuskan putusan pengadilan untuk menegakkan dan menemukan ‘hukum’ dan ‘keadilan’ secara formil dan materil, maka tugas hakim pengadilan mencakup sekurang-kurangnya 4 (empat) beban berat yakni (i) menemukan fakta di dalam peristiwa hukum; (ii) menentukan adanya kesalahan atau tidak; (iii) menyusun pertimbangan hukum (ratio decidendi) terhadap fakta dan kesalahan itu; serta (iv) memutuskan berat-ringannya hukuman atau membebaskan/melepaskan terdakwa. Setiap hakim dalam memeriksa dan mengadili perkara diwajibkan menemukan, menyusun, dan menanggung sendiri semua beban tugas itu tanpa bisa diintervensi oleh pihak manapun juga. Tambahan lagi, untuk pemeriksaan suatu perkara dengan menghadirkan saksi ahli ataupun dengan adanya keterangan ahli yang tertulis (doktrin), namun semua keterangan ahli itu tidak akan berdampak pada putusan karena yang secara normatif menjadi putusan adalah pendapat hakim sendiri.
Dengan kuasa hakim yang begitu besar untuk memutuskan, bahkan dengan adanya ketentuan hukum acara yang memberikan wewenang dalam stelsel aktif, sehingga hakim pengadilan pidana menjadi sangat berkuasa luar biasa secara absolut untuk memutuskan sendiri hukum dan keadilan di pengadilan. Konteks inilah yang disebut sebagai judicial dictatorship oleh Satjipto Rahardjo dan ada yang lain menyebutnya sebagai judicial tyrani. Situasi ini berbeda dengan pendapat jury atau hakim ad hoc di negara lain yang menerapkan konsep lay judges seperti dalam sistem common law.
Penerapan konsep lay participation dengan lembaga jury dan lay judges seperti dapat diketahui dari tulisan John Dawson, mengacu pada konsep hukum adanya partisipasi anggota masyarakat (lay participation of person) di dalam pengadilan. Partisipasi orang awam (lay persons) dimaksudkan sebagai orang umum yang tidak pernah dididik secara khusus sebagai hakim bahkan bukan bagian dari suatu profesi, namun diterima sebagai orang baik yang dapat merefleksikan hatinuraninya sebagai common sense untuk menemukan dan menentukan keadilan di pengadilan pidana. Mereka ini duduk sebagai wasit atau anggota majelis hakim untuk mengadili suatu perkara di pengadilan, baik dalam bentuk kolaboratif kolegial maupun duduk dengan kewenangannya secara terpisah (bench) dari hakim karir. Pola lay participation dengan jury atau lay judges dalam sejarahnya telah digunakan oleh Cicero pada zaman Romawi kuno yang kemudian diadopsi dalam berbagai sistem hukum dewasa ini. Dan di Jepang pernah digunakan juga sistem jury tapi kemudian dihapuskan. Tetapi pada tahun 2006 lay judges kembali digunakan dalam pengadilan pidana Jepang, yang mengikuti tradisi sistem hukum Jerman dalam sistem civil law. Dengan contoh itu menjadi terang bahwa konsep jury atau lay judges sebagai bentuk lay participations sudah digunakan baik dalam sistem common law (dalam konsep adversary) maupun dalam civil law (Jerman, Austria, Denmark, di Perancis dalam Court d’assises). Namun dalam kenyataannya memang bentuk jury lebih banyak ditemukan dalam sistem hukum common law, yang di Inggris dengan lay magistrates.
Kelembagaan hukum yang ada untuk mewujudkan cita hukum dan kewajiban hakim dalam pengadilan pidana saat ini masih terbatas pada konsep kemandirian kekuasaan kehakiman. Konsep ini masih belum memadai, walaupun keberadaannya sudah dinyatakan sejak dalam konstitusi dan diteruskan lagi dalam berbagai UU di bidang kekuasaan kehakiman termasuk dalam hukum acara pidana. Praktiknya dalam pengadilan pidana hanya dapat diharapkan melalui doktrin hakim yang berintegritas, profesionalitas hakim dan kelembagaan alat-alat bukti. Adanya hakim ad hoc di pengadilan khusus menjadi harapan tambahan atas kemandirian itu.
Namun tidak cukup hanya dengan konsep kemandirian itu saja untuk mencapai teori “fair equality of opportunity and pure procedural justice” karena dengan itu hanya akan sampai pada tataran formal, konseptual dan doktrinal saja, yang belum masuk ke dalam penjabaran mekanisme dan operasional semua kaidah itu di pengadilan. Konsep untuk itu harus meliputi pula basic structure dalam arti bahwa kemandirian kekuasaan kehakiman termasuk semua kelembagaan hukumnya tersedia secara operasional untuk diimplementasikan. Itu artinya basic structure harus menjadi public rules sebagai a just political constitution dan a just system of institution sehingga justice as fairness secara teoritis dapat dicapai. Tanpa mekanisme dan operasionalisasi itu maka gradasi keadilan yang dicapai hanya formal dan prosedural saja.
Bagaimana situasi peradilan di masa reformasi setelah amandemen konstitusi menjadi UUD NRI Thn 1945? Berikut ini disarikan petikan dari tulisan Prof.Dr. Achmad Ali, SH, MH., mengenai Teori Hukum dan Teori Peradilan. Akibat banyak orang salah mengartikan ‘reformasi hukum’ sehingga menimbulkan ‘penyakit hukum’ yang menyebabkan hukum di Indonesia tidak pernah bisa menunaikan fungsinya secara optimal. Ketika seseorang ingin memahami ‘hakikat hukum’ berarti yang dimaksudkan termasuk tiga komponen hukum yang terdiri dari struktur, substansi, dan kultur hukum yang ketiganya terkait dengan fungsi hukum dan tujuan hukum. Sependapat dengan Prof. Satjipto Rahardjo tentang konsep penanggulangan kejahatan berkaitan erat dengan kepercayaan terhadap sistem hukum modern, Achmad Ali menyatakan bahwa ‘formalisme hukum’ termasuk penyakit hukum yang ada saat ini. Resiko tertinggi dari kepercayaan adalah mematikan unsur keterlibatan, kepekaan, emosi, dan komitmen. Padahal, kepekaan dan keterlibatan menjadi sangat penting dalam keadaan tertentu.
Serupa dengan yang pernah dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dalam artikel Between Two Worlds: Modern State and Traditional Society salah satu penyebab keterpurukan praktik hukum di Indonesia bisa diperhatikan pada paradigma hukum dan hukum formal Barat. Ketika seseorang belajar ilmu hukum dengan hanya menggunakan pendekatan normatif atau yurisprudensi, berarti orang tersebut hanya mempelajari “ilmu tentang penyakit-penyakit yang harus dihadapi oleh hukum dalam melaksanakan fungsinya secara optimal” yang di dalamnya mencakup keseluruhan “perbuatan hukum, dan perbuatan melawan hukum”.
Menurut Prof. Achmad Ali, yang dimaksud dengan “penyakit hukum” adalah penyakit yang diderita oleh hukum itu sendiri yang menyebabkan hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya secara optimal. Penyakit itu bisa menimpa strukturnya, fungsinya, atau dapat menyerang kultur hukumnya. Ketiga komponen itu, yang diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman pada tahun 1970-an, bisa menjadi indikator keberhasilan hukum dan juga kegagalan hukum. Prof. Achmad Ali memasukkan dua komponen lain ke dalamnya, yakni: profesionalisme dan kepemimpinan. Menurut hemat saya (NS) di dalam kepemimpinan sudah seharusnya mengandung profesionalisme, baik disadari atau tidak sebagai kriteria penentu. Nilai kepemimpinan tanpa profesionalisme akan direduksi menjadi sekadar jabatan di dalam struktur. Atau bahkan kepemimpinan menjadi sekadar atribut jika tidak dihayati sebagai profesi yang merupakan aktualisasi diri terhadap keterpanggilan suarahati dengan tanggung-jawab etika individual dan sosial.
4. Koreksi Pengadilan terhadap Keliru Eksekusi
Kasus in concreto “keliru eksekusi terhadap putusan pengadilan” yang disebut pada bagian awal uraian ini, bisa dijelaskan dalam konteks di hulu sebagai kesalahpahaman antara infallibilitas dengan imunitas, yang kemudian di hilir menjadi keliru eksekusi dan mengancam peradaban negara yang ber-Ketuhanan Maha Esa, bilamana sampai terjadi peradilan sesat (miscarriage of justice) atau oleh Prof.Achmad Ali disebutnya sebagai “penyakit hukumyang menyebabkan hukum tidak dapat melaksanakan fungsinya secara optimal.” Maka, teranglah koreksi Pengadilan harus dilakukan dalam kerangka tanggungjawab peradaban bangsa dan negara yang bisa dijelaskan secara ilmiah, etis moral, dan yuridis formal terhadap banyak contoh kasus in concreto.
UU Kekuasaan Kehakiman yang menyelenggarakan pengadilan untuk dan atas nama negara, bertanggungjawab terhadap pelaksanaan HAM yang ditentukan dalam Pasal 28I (4) “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa“Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. HAM itu sendiri selain imperatif menjadi rujukan hirarkis dari seluruh UU yang oleh karena itu dengan sendirinya juga merupakan “nilai-nilai hukum dan rasa keadilan” yang hidup dalam masyarakat sebagai the living laws.
Kepastian hukum dan keadilan di luar dan di dalam pengadilan adalah hak asasi konstitusional, menurut UUD NRI Thn 1945 Pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Konstitusi itu juga dalam Pasal 28I (5) menentukan Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dengan itu, maka segala hukum dan peraturan perundang-undangan yang diberlakukan oleh dan atas nama negara termasuk oleh Pengadilan, haruslah dalam rangka “pelaksanaan HAM konstitusional”yang dalam konteks kasus in concreto, bagaimana HAM dilaksanakan tentang Kepastian Hukum dan Keadilan, di luar dan di dalam pengadilan? Eksekutor adalah pejabat administrasi yudisial penyelenggara fungsi pemerintahan di lingkungan yudikatif, tidak memiliki wewenang konstitutif untuk meniadakan hak kepemilikan seseorang; tetapi wajib melaksanakan administrasi pemerintahan negara berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) sebagaimana dalam Pasal 4 (1) b. UU No. 30 Thn 2014 Administrasi Pemerintahan. AAUPB di dalam UU ini. UU HAM (No. 39 Thn 1999) Pasal 36 (2) “Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum.” Juga, Pasal 17 “Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak untuk memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.” Eksekusi yang bukan dan tidak boleh sebagai peniadaan HAM konstitutif melainkan sebagai perbuatan administrasi penyelenggara fungsi pemerintahan selaku administrasi yudisial, harus dilaksanakan dengan kepastian hukum, kecermatan, dan pelayanan yang baik.
***
Harian Rakyat Merdeka Jakarta, Minggu, 30 Nopember 2008, hlm.4
Harian Kompas, Minggu, 4 Desember 1994, hlm.2;
Ketika data itu saya minta didiskusikan oleh para mahasiswa mata kuliah hukum acara, komentar mereka salah satunya mengatakan “Wah, kalau begitu Pak, perlu disediakan ribuan kursi panas di neraka tingkat tujuh bagi Hakim-hakim yang memutuskannya” dan yang lain menambahkan “Bukan hanya mereka, tapi juga bagi penyidik, penuntut umum, dan advokat …”
Tentang naluri primitif, lihat bagian akhir buku “Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum” dalam XI.6.
Hasil jajak pendapat Kompas dari 2003-2007 untuk pertanyaan “Puas atatu tidak puas dengan kinerja para hakim dalam menangani perkara kriminalitas, narkoba, pelanggaran HAM, KKN, politik/subversi, terorisme. N=805-978, diterbitkan pada 26 Februari 2007; Komisi Hukum Nasional (KHN), Laporan Tahunan 2004 hlm. 41; A. Muhammad Asrun, Krisis Peradilan, Mahkamah Agung di bawah Soeharto, Elsam, Jakarta, 2004; Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse, Cornell Southeast Asia Program, 2005; Benny K. Harman, Konfigurasi Politik & Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, Elsam, Jkt., 1997; Bank Dunia, Reformasi Hukum di Indonesia, A Diagnostic Asessment of Legal Development in Indonesia, Cyberconsult, Jakarta, 1999. Bahkan secara sarkastis dalam satu laporan tentang bagaimana praktik peradilan, disimpulkan bahwa Integrated Criminal Justice System praktiknya telah menjadi Integrated Corruption Justice System dalam Wasingatu Zakiyah dkk, Menyingkap Tabir Mafia Peradilan, ICW Jakarta, 2002, hlm. 116; Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA., Masih Adakah Harapan Untuk Reformasi Hukum? Dalam Arief T. Surowidjojo, editor, Pembaharuan Huum: Kumpulan Pemikiran Alumni FH UI, Iluni-FHUI, Jakarta, 2004; Prof.Harkristuti Harkrisnowo, SH, MA., Ph.D., Membangun Strategi Kinerja Kejaksaan dan Kepolisian bagi Peningkatan Profesionalisme dan Akuntabilitas Publik, dalam Arief T. Surowidjojo, ed., ibid.; Mahkamah Agung RI, Naskah Akademis tentang Pembentukan Hukum Melalui Yurisprudensi, MA-RI, 2005;
Satjipto Rahardjo, Sisi-sisi Lain dari Hukum Indonesia, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2003, hlm.229;
John P. Dawson, A History of Lay Judges, The Lawbook Exchange, Ltd., Union, New Jersey, 1999;
Lay (person) dalam kata asli bahasa Latin [laicus] merupakan sandingan terhadap clerus (orang yang tertahbis) khusus untuk tugas dan ibadat keagamaan namun laicus yang tidak tertahbis bukan berarti sebagai orang berpengetahuan lebih rendah daripada clerus;
Cicero, On the Commonwealth and Laws, Edited by James E.G., Zetzel, Cambridge University Press, 1999; Hideo Tanaka, The Japanese Legal System, Introductory Cases and Materials, University of Tokyo Press, 1984, p.482; Catherine Elliot and Catherine Vernon, French Legal System, Pearson Education, London, 2000, p.73; Davies, Croall and Tyrer, Criminal Justice: An Introduction to the Criminal Justice System in England and Wales, 2nd edition, Longman, London and New York, 1998:p.174; Harry Kalven, Jr., Hans Zeisel, with collaboration of Thomas Callahan and Philips Ennis, The American Jury, Little Brown and Company, Boston Toronto, 1966: p.516;
Disarikan dari Luhut MP Pangaribuan, Lay Judges & Hakim Ad Hoc, Suatu Studi Teoritis Mengenai Sistem Peradilan Pidana Indonesia, disertasi Pascasarjana FH UI & Penerbit Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2009;
Ibid, [hlm. 488]
Achmad Ali, SH, MH, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Jurisprudence) termasuk Interpretasi Undang-undang (Legisprudence), Volume 1 Pemahaman Awal, penerbit Prenada Media Group, cetakan 1 Agustus 2009,
UU No. 14 Thn 1970 yang sudah diperbaharui dengan UU No. 35 Thn 1999 dan kemudian diperbaharui lagi dengan UU No. 4 Thn 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Jo. UU No. 39 Thn 1999 Pasal 8 “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah” dan Pasal 71 “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Dengan pengertian “Pemerintah” dalam hal ini sebagai “dalam arti luas meliputi eksekutiff, legislatif, dan yudikatif” [Nikolas Simanjuntak, Acara Pidana Indonesia dalam SIRKUS HUKUM, Ghalia Indonesia, 2009, Bab VII.5.1. & Bab XI.2. Tanggungjawab Kebenaran Putusan Hakim]
UU No. 11 Thn 2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
Nikolas Simanjuntak, HAM Dalam Pertarungan Peradaban, 2015, VI.3.13. HAM Hukum Positif Hirarkis
Ibid., Bab VI.3.3. Hak Asasi Kolektif & Keadilan Kepastian Hukum;
Ibid., Bab VI.3.13. HAM Hukum Positif Hirarkis;
UU No. 30 Thn 2014 Pasal 4 (1) Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas: a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif; b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
Pasal 10 (1) UU No. 30 Thn 2014;