KEDUDUKAN ORGANISASI ADVOKAT SELAIN PERADI, KEABSAHAN PENYUMPAHAN ADVOKAT YANG DIUSULKANNYA DAN PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM YANG DAPAT DIMINTAKAN ATASNYA ANALISA YURIDIS ATAS IMPELEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-XVII/2018 (Oleh: Shalih Mangara Sitompul)
- PENDAHULUAN
- PERTANYAAN HUKUM
- Bagaimana kedudukan PERADI dan Organisasi Advokat lain selain PERADI, terutama dihubungkan dengan 8 (delapan) wewenang Organisasi Advokat yang diberikan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 Tentang Advokat pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XVII/2018?
- Siapa yang berwenang mengusulkan sumpah Advokat?
- Bagaimana Keabsahan sumpah calon Advokat yang diusulkan oleh selain PERADI?
- Bagaimana pertanggungjawaban hukum yang dapat dimintakan kepada Organisasi Advokat selain PERADI atas pengusulan sumpah Advokat yang dilakukan tanpa wewenang?
- Bagaimana pertanggungjawaban hukum yang dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung RI atas pengangkatan sumpah yang diusulkan oleh Organisasi selain PERADI?
- PEMBAHASAN
- Kedudukan PERADI dan Organisasi Advokat Lain Selain PERADI Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XVII/2018
- Wewenang Pengusulan Sumpah Advokat
- Pertama, Melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat. Diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Advokat yakni “Yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi Advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat.
- Kedua, melaksanakan pengujian calon Advokat. Diatur dalam pasal 3 ayat (1) huruf f yakni “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : ...F. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisasi Advokat”
- Ketiga, melaksanakan pengangkatan Advokat. Diatur dalam pasal 2 ayat (2) yakni “Pengangkatan Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”
- Keempat, membuat kode etik. Diatur dalam pasal 26 ayat (1) yakni “Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi Advokat, disusun kode etik profesi Advokat oleh Organisasi Advokat”
- Kelima, membentuk Dewan Kehormatan. Diatur dalam Pasal 27 ayat (1) yakni “Organisasi Advokat membentuk Dewan Kehormatan Organisasi Advokat baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah”
- Keenam, membentuk Komisi Pengawas. Diatur dalam pasal 13 ayat (1) yakni “Pelaksanaan pengawasan sehari-hari dilakukan oleh Komisi Pengawas yang dibentuk oleh Organisasi Advokat.
- Ketujuh, melakukan pengawasan. Diatur dalam Pasal 12 ayat (1) yakni “Pengawasan terhadap Advokat dilakukan oleh Organisasi Advokat”
- Kedelapan, memberhentikan Advokat. Diatur dalam pasal 9 ayat (1) yakni “Advokat dapat berhenti atau diberhentikan dari profesinya oleh Organisasi Advokat”
- Keabsahan Sumpah Advokat Yang Diusulkan Selain PERADI
- Pertanggungjawaban Hukum Yang Dapat Dimintakan Kepada Organisasi Advokat Selain PERADI Atas Pengusulan Sumpah Advokat Tanpa Wewenang;
- Pertanggungjawaban Hukum Mahkamah Agung RI Atas Pengangkatan Sumpah Yang Diajukan Selain PERADI
Perjuangan para Advokat agar bisa diakui sebagai profesi yang bebas dan mandiri adalah perjuangan yang cukup lama dan panjang. Setelah lama menanti cukup lama, payung hukum yang melindungi profesi Advokat akhirnya terbit. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“Undang-Undang Advokat”) yang diundangkan tanggal 5 April 2003 menjadi tonggak sejarah yang penting kebangkitan profesi Advokat. Betapa tidak, selain memberikan perlindungan dan penguatan hak profesi Advokat, undang-undang ini juga mewujudkan harapan yang selama ini ditunggu-tunggu profesi Advokat yakni: berdirinya Organisasi Profesi yang bebas dan mandiri untuk mewadahi profesi Advokat. Setelah cukup lama Profesi Advokat berpraktik di bawah Pengawasan Pemerintah secara langsung, akhirnya Profesi Advokat meraih kemandirian dan segala urusan pembinaan dan pengawasan diberikan kepada Profesi Advokat untuk menentukannya sendiri.
Pada tanggal 7 April 2005 Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) akhirnya diperkenalkan kepada masyarakat. Dengan dibentuknya PERADI, maka wewenang pembinaan dan pengawasan profesi Advokat sepenuhnya dijalankan oleh PERADI. Wewenang tersebut antara lain: (1) Melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat; (2) Pengujian calon Advokat; (3) Pengangkatan Advokat; (4) Membuat kode etik; (5) Membentuk Dewan Kehormatan; (6) Membentuk Komisi Pengawas; (7) Melakukan pengawasan; dan (8) Memberhentikan Advokat. Dari peroses pendidikan, pengujian, pengangkatan, pengawasan praktik sehari-hari , semuanya telah menjadi kewenangan PERADI. Satu-satunya yang tidak menjadi wewenang Organisasi Advokat adalah Pengangkatan Sumpah Advokat yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi di bawah Mahkamah Agung.
Meski Undang-Undang Profesi Advokat secara terang benderang menganut sistem Organisasi tunggal (single bar system) yang sepenuhnya direpresentasikan oleh PERADI, namun hal itu sama sekali tidak menghentikan perdebatan atasnya. Beberapa pihak menginginkan Advokat diwadahi lebih dari satu organisasi (multi bar system). Sebagian diantaranya bahkan mendirikan Organisasi Profesi Advokat tandingan secara sepihak dan bertindak menjalankan wewenang Organisasi Advokat layaknya PERADI. Perselisihan kewenangan diantara Organisasi Advokat pun tak dapat terhindarkan. Yang paling menonjol dari itu semua adalah soal pengusulan sumpah Advokat. Organisasi Advokat selain PERADI secara terus menerus mengusulkan pengambilan sumpah Advokat ke Pengadilan Tinggi, meski hal itu sejatinya bukan menjadi wewenangnya.
Silang pendapat soal single ataukah multi bar system ini sendiri telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi berulang kali. Dalam putusannya yang terakhir yakni putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan pendiriannya yang didasarkan kepada putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya. Mahkamah Konsitusi memang tidak menentukan mana diantara single atau multi bar system itu yang lebih konstitusional, karena Pemerintah, DPR, dan Organisasi Advokat sepenuhnya memiliki kebijakan hukum terbuka (open legal policy) untuk menentukannya sendiri. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga menegaskan bahwa Pembentukan Organisasi Advokat selain PERADI tidak dilarang, namun hal itu tak lantas menjadikan Organisasi Advokat selain PERADI itu berhak untuk menjalankan 8 (delapan) kewenangan Organisasi Advokat yang telah diberikan UU Advokat kepada PERADI.
Walaupun perselisihan tentang kewenangan Organisasi Advokat itu telah diputus Mahkamah Konstitusi berulang kali. Nyatanya, putusan Mahkamah Konstitusi itu tidak sepenuhnya dipatuhi semua pihak. Mahakamah Agung melalui Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 justru tetap membukakan pintu bagi Organisasi Advokat selain PERADI untuk mengusulkan penyumpahan Calon Advokat di Pengadilan Tinggi pada wilayah hukum domisili Advokat. Meskipun perdebatan tentang hal ini sejatinya telah selesai dalam tataran konstitusi, namun dalam tataran implementasi ternyata masih menyisakan persoalan. Kedudukan PERADI sebagai satu-satunya Organisasi Advokat yang berhak menjalankan 8 (delapan) kewenangan yang diberikan Undang-Undang Advokat terus dipertanyakan. Semua berpangkal kepada Surat Ketua Mahkamah Agung tersebut yang senyatanya tidak konsisten dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Oleh karena perselisihan wewenang Organisasi Advokat masih terjadi dalam tataran implementasi, nyatalah terdapat kebutuhan untuk mencari solusi hukum agar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XVII/2018 dapat dilaksanakan secara konsisten, utamanya bagaimana langkah hukum yang harus ditempuh untuk menindaklanjuti sikap Mahkamah Agung dan Organisasi Advokat selain PERADI yang tetap mengusulkan penyumpahan Advokat walaupun telah nyata hal tersebut menjadi wewenang eksklusif PERADI sebagai satu-satunya Organisasi Profesi Advokat yang diberikan oleh Undang-Undang Advokat.
Permasalahan hukum yang hendak dijawab dalam tulisan ini antara lain:
Perdebatan tentang kedudukan PERADI sebagai satu-satunya wadah atau single authorized body bagi profesi Advokat terus dipertanyakan. Beberapa bahkan memunculkan pertanyaan sederhana misalnya : jika memang PERADI ditunjuk sebagai satu-satunya Wadah Organisasi Advokat, di pasal berapa dalam Undang-Undang Advokat itu ada yang memuat kata PERADI?. Jika diteliti secara seksama, dari total 36 (tiga puluh enam) pasal dan termasuk bagian penjelasan umum dan penjelasan pasal-per pasal dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat memang tidak ditemukan satupun kata PERADI di dalamnya[1]. Lalu bagaimana PERADI dianggap sebagai satu-satunya Wadah Organisasi Profesi yang berwenang menjalankan 8 (delapan) wewenang pembinaan dan pengawasan profesi Advokat?
Untuk mengetahui kedudukan PERADI sebagai satu-satunya Organisasi Profesi Advokat yang mendapatkan wewenang secara atributif dari Undang-Undang Advokat dapat dilacak dari penafsiran historis dan penafsiran sistematis atas pasal-pasal dalam Undang-Undang Advokat. Lahirnya Undang-Undang Advokat yang kemudian mengamanatkan dibentuknya wadah Organisasi Advokat adalah satu kesatuan proses yang simultan. Di awali dari Seminar yang difasilitasi Pemerintah di Jakarta pada tahun 1995 yang diselenggarakan oleh Ikadin, AAI dan IPHI, lahirlah Kode Etik Bersama dan dibentuk pula Forum Komunikasi Advokat Indonesia[2]. Selanjutnya pada tahun 2002 diadakan pertemuan sebanyak 3 (tiga) kali yang kemudian pada tanggal 11 Februari 2002 dideklarasikanlah Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) yang beranggotakan IKADIN, AAI, IPHI, AKHI. HKPM, Serikat Pengacara Indonesia (SPI), dan Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI).
Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI) melaksanakan beberapa kegiatan yang menjadi fondasi bagi eksistensi Advokat, diantaranya[3] : pertama, Membuat Panitia Bersama dengan Mahkamah Agung menyelenggarakan Ujian Pengacara Praktik tanggal 17 April 2002; kedua, Membuat Kode Etik Advokat Indonesia pada tanggal 23 Mei 2002; Ketiga, yang signifikan bagi profesi Advokat adalah mendesak diundangkannya Rancangan Undang-Undang tentang Advokat. Dari proses inilah kemudian lahir Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang diundangkan tanggal 5 April 2003. Advokat mendapatkan payung hukum yang layak untuk melindungi kehormatan profesinya. Kemudian pasal 32 ayat (4) Undang-Undang ini mengamatkan “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya undang-undang ini, Organisasi Advkoat telah terbentuk”.
Dalam rangka mewujudkan pendirian Organisasi Advokat tersebut, pasal 32 ayat (3) mengamanatkan kepada 8 (delapan) Organisasi Advokat yang ada yakni IKADIN, AAI, HAPI, SPI, AKHI, HKPM, dan APSI untuk sementara waktu menjalankan tugas dan wewenang Organisasi Advokat. Pada tanggal 16 Juni 2003, kedelapan Organisasi Advokat ini kemudian sepakat untuk kembali memakai nama Komite Kerja Advokat Indonesia (KKAI). Dari KKAI inilah lahir wadah organisasi Advokat tunggal yang dinamai Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Sebelum membentuk PERADI, KKAI telah melakukan sejumlah persiapan diantaranya: pertama, Melakukan verifikasi untuk memastikan jumlah Advokat yang masih aktif di Indonesia; kedua, Membentuk Komisi Organisasi untuk mempersiapkan Konsep Organisasi Advokat yang sesuai dengan situasi dan kondisi Indonesia. Ketiga, Pembentukan Komisi Sertifikasi untuk mempersiapkan hal-hal menyangkut pengangkatan Advokat baru. Selanjutnya pada tanggal 21 Desember 2004, Permhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dideklarasikan.
Dari sisi penafsiran historis atas pasal-pasal dalam Undang-Undang Advokat tersebut, nyatalah bahwa pembentukan Undang-Undang Advokat dan berikut dengan Pembentukan PERADI sebagai Organisasi Advokat merupakan satu rangkaian yang simultan dan tidak terputus. Karena itu jika menghubungkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Advokat melalui penafsiran sistematis juga akan didapat jawaban yang sama. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Advokat menegaskan “Organisasi Advokat adalah organisasi profesi yang didirikan berdasarkan undang-undang ini”. Senada dengan hal itu, penjelasan pasal 3 ayat (1) juga menyatakan “yang dimaksud dengan Organisasi Advokat dalam ayat ini adalah Organisasi Advokat yang dibentuk sesuai dengan ketentuan Pasal 32 ayat (4) Undang-Undang Ini”. Pasal 32 ayat (4) mempertegas kembali bahwa Organisasi Avokat yang akan dibentuk melalui Undang-Undang diberikan batas waktu yakni “dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah dibentuk”. Dengan demikian, meskipun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat tidak memuat satupun kata PERADI di dalam batang tubuhnya, namun kehadiran Undang-Undang Advokat dan Pembentukan PERADI merupakan satu kesatuan proses yang simultan dan PERADI lahir untuk menjalankan amanat Undang-Undang Advokat itu sendiri.
Perdebatan tentang kedudukan PERADI sebagai satu-satunya wadah organisasi Advokat telah dibawa ke Mahkamah Konstitusi beberapa kali. Mahkamah konstitusi dalam beberapa putusannya juga telah menegaskan pendiriannya tentang hal ini salah satunya dalam pertimbangan putusan Nomor 66/PUU-VIII/2010 Mahkamah Konstitusi mengatakan bahwa PERADI adalah satu-satunya Organisasi Advokat yang berwenang menjalankan 8 (delapan) wewenang Organisasi Advokat sebagaimana dikatakan:
...Satu-satunya wadah profesi Advokat sebagaimana dimaksud dalam UU Advokat adalah satu-satunya wadah profesi Advokat yang memiliki wewenang untuk melaksanakan pendidikan khusus profesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)], pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f], pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)], membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)], membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)], membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)], melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)], dan memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1), UU Advokat]. UU Advokat tidak memastikan apakah wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan wewenang-wewenang tersebut berhak untuk tetap eksis atau tetap dapat dibentuk. Memperhatikan seluruh ketentuan dan norma dalam UU Advokat serta kenyataan pada wadah profesi Advokat, menurut Mahkamah, satu-satunya wadah profesi Advokat yang dimaksud adalah hanya satu wadah profesi Advokat yang menjalankan 8 (delapan) kewenangan a quo, yang tidak menutup kemungkinan adanya wadah profesi advokat lain yang tidak menjalankan 8 (delapan) kewenangan tersebut berdasarkan asas kebebasan berkumpul dan berserikat menurut Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa dalam pembentukan PERADI, 8 (delapan) organisasi advokat yang ada sebelumnya tidak membubarkan diri dan tidak meleburkan diri pada PERADI.
Selanjutnya dalam putusannya yang terbaru yakni putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018 halaman 318, Mahkamah Konstitusi kembali menegaskan kedudukan PERADI sebagai berikut:
Bahwa persoalan konstitusionalitas organisasi advokat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 28 ayat (1) UU Advokat sesungguhnya telah selesai dan telah dipertimbangkan secara tegas oleh Mahkamah, yakni PERADI yang merupakan singkatan (akronim) dari Perhimpunan Advokat Indonesia sebagai organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006], yang memiliki wewenang sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat untuk:
a. melaksanakan pendidikan khususprofesi Advokat [Pasal 2 ayat (1)];
b. melaksanakan pengujian calon Advokat [Pasal 3 ayat (1) huruf f];
c. melaksanakan pengangkatan Advokat [Pasal 2 ayat (2)];
d. membuat kode etik [Pasal 26 ayat (1)];
e. membentuk Dewan Kehormatan [Pasal 27 ayat (1)];
f. membentuk Komisi Pengawas [Pasal 13 ayat (1)];
g. melakukan pengawasan [Pasal 12 ayat (1)]; dan
h. memberhentikan Advokat [Pasal 9 ayat (1)].
[vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-VIII/2010 bertanggal 27 Juni 2011];
Penegasan Mahkamah Konstitusi tentang kedudukan PERADI sebagai satu-satunya Organisasi yang berhak menjalankan 8 (delapan) wewenang tersebut sudah tepat. Penunjukkan PERADI sebagai satu-satu nya Organisasi Advokat untuk menjelankan 8 (delapan) wewenang itu tidak dapat dikatakan sebagai praktik monopoli kekuasaan yang menimbulkan diskriminasi negatif bagi Organisasi Advokat lain selain PERADI yang dibentuk para Advokat. Mahkamah Konstitusi juga telah menegaskan bahwa para Advokat tetap berhak untuk membentuk Organisasi Advokat lainnya sebagai jaminan hak untuk berserikat dan berkumpul sepanjang Organisasi yang dibentuknya tidak menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan Profesi Advokat yang telah diberikan Undang-Undang Advokat kepada PERADI.
Demi kepastian hukum dalam pembinaan dan pengawasan profesi Advokat, Penanggjawab ataupun Otoritas Pelaksana Pembinaan dan Pengawasan itu haruslah diberikan kepada satu Organisasi Advokat saja. Jika setiap Organisasi Advokat menjalankan wewenang Pembinaan yang sama, maka hal itu justu akan memunculkan kerancuan dalam tertib berorganisasi yang pada akhirnya berujung kepada ketidakpastian hukum. Masing-masing organisasi Advokat akan dibawa pada posisi saling bersaing dan bukan tidak mungkin saling berhadapan untuk menegasikan satu sama lain. Jika kondisi itu dibiarkan, bukan peningkatan kualitas profesi Advokat yang dicapai, yang terjadi justru malapetaka dan eksistensi profesi Advokat justru menjadi terancam.
Oleh karena itu, pemberian 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Advokat hanya kepada PERADI itu dalam hemat Penulis bukan sekedar pilihan hukum untuk berkhidmad dalam single bar system. Pilihan itu semata untuk mewujudkan suatu sistem pembinaan profesi Advokat yang kuat dan kredible. Pemberian wewenang Pembinaan kepada lebih dari satu Organisasi hanya akan memunculkan pertanyaan tentang kredibilitas. Sistem pembinaan yang dilakukan di satu organisasi akan saling diperbandingkan dengan pembinaan yang dilakukan pada organisasi yang lain. Advokat yang dijatuhi sanksi oleh Organisasi nya akan dapat dengan mudah berpindah kepada Organisasi yang lainnya, begitu seterusnya sehingga tujuan peningkatan kualitas Profesi Advokat melalui pembinaan dan pengawasan profesi Advokat tidak akan pernah berjalan efektif. Apabila Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat dijalankan oleh lebih dari satu Organisasi, hal itu justru akan melemahkan sistem pembinaan itu sendiri dan menggerus Marwah Profesi Advokat.
Bahwa dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Advokat yang kemudian ditegaskan Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018 yang menguatkan dan menegaskan kembali putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya dapatlah disimpulkan bahwa PERADI berkedudukan sebagai satu-satunya Organisasi Advokat di antara Organisasi-Organisasi Advokat lainnya yang berhak secara eksklusif untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan pengawasan Profesi Advokat sebagaimana ditentukan Oleh Undang-Undang Advokat. Sedangkan Organisasi Profesi Advokat lain selain PERADI tetap diakui keberadaanya sebagai pelaksanaan atas berserikat dan berkumpul, namun kedudukannya bukanlah sebagai Organisasi Advokat yang berwenang untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat sebagaimana telah diberikan secara atributif oleh Undang-Undang Advokat kepada PERADI.
Silang pendapat antar Organisasi Advokat paling nyata terjadi dalam hal penyumpahan profesi Advokat. Penyumpahan Advokat diwajibkan oleh Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat dimana dikatakan “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Dari ketentuan pasal itu dapat dipahami bahwa Penyumpahan para Advokat itu tidak diserahkan kepada Organisasi Profesi Advokat melainkan tetap menjadi wewenang Mahkamah Agung khususnya Pengadilan Tinggi di wilayah hukum domisili para Advokat yang akan disumpah.
Meski telah jelas bahwa yang berwenang melakukan Penyumpahan adalah Pengadilan Tinggi, namun hal itu masih menyisakan pertanyaan perihal “siapa yang berhak untuk mengusulkan penyumpahan Advokat itu kepada Pengadilan Tinggi?”. Apakah PERADI saja sebagai satu-satunya Organisasi Advokat ataukah seluruh Organisasi Advokat punya hak yang sama untuk mengusulkan Penyumpahan itu. Mencuatnya pertanyaan ini cukup wajar mengingat dari 8 (delapan) wewenang pembinaan dan pengawasan yang telah diserahkan Undang-Udang Advokat kepada PERADI, tidak ada satupun yang menegaskan bahwa hanya PERADI-lah juga satu-satunya Organisasi yang berhak untuk mengusulkan Penyumpahan Anggotanya kepada Pengadilan Tinggi.
Karena pengusulan sumpah Advokat tidak disebutkan secara eksplisit sebagai bagian dari wewenang PERADI, maka Organisasi Advokat lain selain PERADI memandang memiliki hak sama untuk megusulkan Penyumpahan Advokat sendiri. Di sisi lain, Ketua Mahkamah Agung RI, melalui Surat Nomor 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 menyampaikan kepada Ketua Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia bahwa pengusulan sumpah itu dapat dilakukan baik oleh PERADI ataupun Organisasi lainnya selain PERADI. Dalam angka 6 suratnya, Ketua Mahkamah Agung menegaskan “bahwa terhadap Advokat yang belum bersumpah atau berjanji, Ketua Pengadilan Tinggi berwenang melakukan penyumpahan terhadap Advokat yang memenuhi persyaratan dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 atas permohonan dari beberapa Organsasi Advokat yang mengatasnamakan Peradi dan Pengurus Organisasi Advokat lainnya hingga terbentuknya Undang-Undang Advokat yang baru”. Akibat berlakunya ketentuan ini, seluruh Organisasi Advokat tanpa terkecuali dapat mengusulkan Penyumpahan Advokat, tanpa diketahui apakah para Advokat yang akan disumpah itu telah memenuhi persyaratan dari segi Administratif maupun kualifikasinya.
Atas dasar kondisi tersebut, sebelum menjawab pertanyaan siapa berhak atas pengusulan sumpah Advokat, maka pertanyaan hukum mendasar yang harus dijawab terlebih dahulu adalah apakah pengusulan sumpah Advokat itu merupakan wewenang organisasi Advokat sehingga menjadi bagian yang tak terpisahkan dari 8 (delapan) wewenang Organisasi Advokat yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Advokat. Pertanyaan ini penting untuk diurai terlebih dahulu sebab dalam seluruh batang tubuh pasal dan penjelasannya, Undang-Undang Advokat tidak satupun menyebutkan secara spesifik tentang wewenang Pengusulan Sumpah Advokat. Satu-satunya pasal yang mengatur tentang Sumpah Advokat yakni Pasal 4 ayat (1), (2), dan (3) hanya memuat wewenang pengangkatan sumpah saja yang ditegaskan menjadi wewenang Pengadilan Tinggi untuk melaksanakannya. Sementara wewenang pengusulannya tidak diatur secara spesifik.
Untuk menjawab pertanyaan itu, perlu kiranya diuraikan terlebih dahulu apa saja wewenang Organisasi Advokat dalam Undang-Undang Advokat. Undang-Undang Advokat memberikan 8 (delapan) macam wewenang yang tersebar pada pasal-pasal dalam Undang-Undang Advokat. Diantara wewenang itu antara lain:
Dari 8 (delapan) wewenang Organisasi Advokat tersebut, memang tidak terdapat satupun pasal yang mengatur wewenang pengusulan sumpah Advokat atau setidak-tidaknya menyatakan pengusulan advokat masuk ke bagian wewenang yang mana dari kedelapan wewenang tersebut. Namun demikian, meskipun wewenang pengusulan sumpah Advokat meskipun tidak diatur secara expresis verbis dalam pasal-pasal Undang-Undang Advokat, hal itu tidak pula berarti bahwa wewenang itu tidak ada. Proses pengusulan Sumpah Advokat betul-betul ada secara faktual (de facto) dalam praktik penyumpahan Advokat di lapangan. Jika dilihat dari urutannya, proses pengusulan sumpah Advokat itu berada setelah proses pengangkatan Advokat oleh Organisasi Advokat. Itulah sebabnya pasal 4 ayat (1) UU Advokat menegaskan bahwa “sebelum menjalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh-sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”.
Penyumpahan Advokat menurut pasal 4 ayat (1) itu hanya dapat dilakukan sepanjang Advokat telah melewati proses pendidikan profesi khusus, telah lulus ujian Advokat dan telah diangkat sebagai Advokat oleh Organisasi Advokat yang menaunginya. Karena itu, proses penyumpahan Advokat adalah rangkaian proses lanjutan yang tidak dapat dipisahkan dari proses-proses sebelumnya itu. Atas dasar itu, jika membaca ketentuan pasal tentang wewenang pendidikan, pengujian dan pengangkatan Advokat itu, lagipula pengusulan sumpah Advokat adalah pintu masuk menuju proses selanjutnya yakni penyumpahan di Pengadilan Tinggi, maka melalui penafsiran sistematis dapatlah diketahui bahwa pengusulan sumpah Advokat adalah bagian yang tak terpisahkan dari 8 (delapan) wewenang Organisasi Advokat yang telah diberikan Undang-Undang Advokat.
Kemudian untuk menjawab pertanyaan siapakah yang berhak untuk mengusulkan Penyumpahan itu apakah PERADI ataukah seluruh Organisasi Advokat, maka jawaban atas pertanyaan itu dapat dianalisa menggunakan teori kepentingan hukum. Dari rangkaian proses yang tidak terpisahkan sejak pendidikan profesi, pengujian, penangkatan hingga penyumpahan Advokat jelaslah terdapat kepentingan hukum yang sama yakni sebagaimana diebutkan pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Advokat yakni agar Advokat dapat menjalankan Profesinya. Dengan demikian, jawaban atas pertanyaan siapakah Organisasi Advokat yang berhak mengusulkan Penyumpahan Advokat di Pengadilan Tinggi tentulah Organisasi Advokat yang sama yang berwenang menyelenggarakan Pendidikan, Pengujian, dan Pengangkatan Advokat. Semenjak Undang-Undang Advokat memberikan wewenang itu kepada PERADI, maka PERADI pula lah satu-satunya Organisasi Advokat yang berhak untuk menggunakan wewenang pengusulan sumpah Advokat di Pengadilan Tinggi.
Penguatan atas wewenang PERADI untuk mengusulkan Penyumpahan Advokat ini telah ditegaskan pula oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018 pada halaman 318 angka 3 dimana dikatakan :
Bahwa lebih lanjut berkaitan dengan penyumpahan advokat yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi tanpa mengaitkan dengan keanggotaan organisasi advokat yang pada saat ini secara de facto ada, tidak serta- merta membenarkan bahwa organisasi di luar PERADI dapat menjalankan 8 (delapan) kewenangan sebagaimana ditentukan dalam UU Advokat, akan tetapi semata-mata dengan pertimbangan tidak diperbolehkannya menghambat hak konstitusional setiap orang termasuk organisasi advokat lain yang secara de facto ada sebagaimana dimaksud Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 yaitu hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Dalam kaitan ini, calon advokat juga harus dijamin perlindungan hak konstitusionalnya untuk disumpah oleh pengadilan tinggi karena tanpa dilakukan penyumpahan calon advokat yang bersangkutan tidak akan dapat menjalankan profesinya. Oleh karena itu, konsekuensi yuridisnya, berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan penyumpahan menjadi Advokat maka ke depan organisasi-organisasi advokat lain selain PERADI harus segera menyesuaikan dengan organisasi PERADI sebab sebagaimana telah ditegaskan dalam Putusan- Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas bahwa PERADI-lah sebagai satu-satunya wadah profesi advokat yang di dalamnya melekat 8 (delapan) kewenangan di mana salah satunya berkaitan erat dengan pengangkatan Advokat [vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 014/PUU-IV/2006 bertanggal 30 November 2006].
Oleh karena pengusulan sumpah Advokat merupakan bagian dari 8 (delapan) Wewenang Organisasi Advokat yang telah diberikan kepada PERADI. Dengan demikian, satu-satunya Organisasi yang berhak untuk mengusulkan penyumpahan Advokat hanyalah PERADI. Organisasi selain PERADI tidak berwenang untuk mengusulkan sumpah Advokat karena tidak berhak untuk menjalankan 8 (delapan) wewenang pembinaan dan pengawasan Profesi Advokat.
Sebagaimana telah ditegaskan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi di atas, pengusulan sumpah Advokat masuk sebagai bagian dari 8 (delapan) wewenang Organisasi Advokat dalam hal ini PERADI. Ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menegaskan Bahwa Wewenang adalah hak yang dimiliki oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk mengambil keputusan dan/atau tindakan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini juga telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Nomor 014/PUU-IV/2006 menegaskan bahwa “...Organisasi PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri ( independen state organ ) yang melaksanakan fungsi negara”.
Dengan demikian, 8 (delapan) wewenang PERADI yang diberikan oleh Undang-Undang Advokat termasuk wewenang pengusulan Penyumpahan itu hanya PERADI-lah satu-satunya pihak yang berhak mempergunakannya. Organisasi Advokat lain, betapapun didirikan dengan mekanisme pendirian yang mirip dengan PERADI, namun kedudukannya tidak sama dengan kedudukan PERADI. Organisasi Advokat selain PERADI berkedudukan sebagai badan hukum privat biasa yang segala tindakannya hanya berdampak pada ranah hukum privat saja. Sementara PERADI berkedudukan sebagai Organ Negara Independen sebab PERADI menjalankan kekuasaan dalam ranah hukum publik (imperatif) untuk menjalankan urusan Pembinaan dan Pengawasan Profesi Advokat yang diberikan secara atributif oleh Undang-Undang Advokat.
Dengan demikian, segala tindakan yang dilakukan Oleh Organisasi Advokat selain PERADI yang seolah-olah menjalankan salah satu dari 8 (delapan) wewenang PERADI yang diberikan oleh Undang-Undang Advokat, termasuk di dalamnya mengusulkan Sumpah Advokat kepada Pengadilan Tinggi, adalah perbuatan melawan hukum yang merugikan PERADI selaku satu-satunya Pihak yang berhak atas wewenang tersebut. Perbuatan itu dapat dimintai pertanggungjawaban dalam ranah hukum Pidana maupun perdata. Sementara dari ranah hukum Administrasi, tindakan yang dilakukan oleh Organisasi Advokat selain PERADI itu tidak dapat diakui sebagai Perbuatan Hukum Administrasi, sebab Organisasi selain PERADI itu tidak memiliki wewenang hukum publik untuk melakukan tindakan tersebut.
Selain itu, Pasal 70 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan menegaskan “Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila: a. Dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak berwenang”. Kemudian ayat (2)nya menegaskan “ Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi : a. Tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan; dan b. Segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada. Atas dasar itu, meskipun Mahkamah Agung tetap membuka dan menerima pengusulan sumpah dari Advokat selain PERADI, maka produk hukum pengangkatan sumpah Advokat tidak sah secara hukum karena mengandung cacat wewenang dalam penerbitannya.
Pengusulan Advokat yang diajukan Organisasi Advokat selain PERADI itu tidak dapat dimintai pertanggunjawaban secara hukum administrasi melalui gugatan tata usaha negara, sebab kedudukan Organisasi Advokat selain PERADI itu bukanlah sebagai independent state organ layaknya PERADI, melainkan hanya badan hukum privat biasa sehingga tidak dapat digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara. Namun perbuatan bertindak seolah-olah sebagai pemangku wewenang itu senyatanya masuk sebagai perbuatan melawan hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana maupun perdata. Dari segi hukum pidana, pengusulan sumpah Advokat tanpa wewenang itu masuk sebagai perbuatan yang memakai nama palsu atau martabat palsu sebgaimana diancam dalam pasal 378 KUHP yang berbunyi :
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun”
R. Soesilo dalam bukunya menjelaskan bahwa unsur-unsur perbuatan ini antara lain : (1) membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang, atau menghapuskan hutang; (2) maksud pembujukan itu adalah hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak; (3) bujukan itu dilakukan dengan : a. Nama palsu; b. Akal cerdik d. Karangan perkataan bohong. Lebih lanjut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “nama Palsu” bermakna bukan namanya sendiri. Sementara “keadaan palsu” misalnya mengaku dan bertindak sebagai pejabat yang berwenang seperti polisi, notaris, pastor, pegawai kotapraja, pengantar surat pos, dan sebagainya yang sebenarnya tidak menjabat jabatan itu.
Dengan demikian, tindakan mengusulkan sumpah Advokat oleh Organisasi Advokat selain PERADI senyatanya melanggar ketentuan ini. Selebihnya, PERADI dan para pihak lainnya yang merasa dirugikan atas perbuatan pengusulan sumpah tanpa wewenang itu dapat pula memintakan pertanggung jawaban secara hukum perdata melalui gugatan perbuatan melawan hukum sepanjang dapat dibuktikan hubungan sebab-akibat atas kerugian yang diderita tindakan penyumpahan tanpa wewenang tersebut.
Bahwa pasca Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan Nomor 35/PUU-XVII/2018 yang menegaskan bahwa pengusulan penyumpahan Advokat menjadi bagian dari wewenang PERADI, maka sejak terbitnya putusan itu Mahkmah Agung wajib langsung merevisi atau mencabut Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Sumpah Advokat. Mahkamah Agung meskipun bertindak sebagai pelaku kekuasaan kehakiman pada ranah implementasi hukum juga tetap terikat dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan tafsir atas permasalahan ini dalam ranah konstitusional.
Atas dasar itu, pertanggungjawaban hukum pertama yang dapat dimintakan kepada Mahkamah Agung, dalam kedudukannya yang juga adalah badan tata usaha negara adalah meminta Mahkamah Agung untuk sesegera mungkin melaksanakan putusan Mahkamah Konsitusi tersebut dengan merevisi mencabut Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 tentang Sumpah Advokat. Mahkamah Agung harus berhenti untuk menerima pengusulan sumpah Advokat yang diajukan oleh Organisasi Advokat lain selain PERADI. Hal ini dikarenakan, pengusulan sumpah Advokat tanpa wewenang itu adalah perbuatan melawan hukum dalam ranah pidana maupun perdata. Hal itu mendesak untuk dihentikan karena fungsi utama Mahkamah Agung pelaku kekuasaan kehakiman dalam tataran Impelementasi Hukum adalah menghadirkan keadilan dan kepastian hukum di tengah-tengah masyarakat.
Sama halnya dengan Organisasi Advokat Selain PERADI, tindakan Mahkamah Agung tetap membuka pengusulan sumpah Advkoat selain PERADI itu dapat pula dipandang sebagai perbuatan melawan hukum (PMH) yang memunculkan kerugian. Akan tetapi, pertanggung jawaban atas kerugian yang disebabkan tindakan Mahkamaah Agung Tersebut masuk sebagai kategori PMH dalam ranah hukum administrasi negara. PERADI dan pihak-pihak lain yang dirugikan oleh tindakan Mahkamah Agung mempertahankan Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 dapat mengajukan gugatan atas sengketa Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Pengajuannya dapat dilakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 Tentang Pedoman Penyelesaian Sengekta Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum Oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintah (Onrechmatige Overheidsdaad).
Dalam pasal 1 angka 4 Perma tersebut ditentukan bahwa Sengketa Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtnmatige Overheidsdaad) adalah sengketa yang didalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan Pejabat Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Melalui jalur ini, PERADI dan para pihak yang dirugikan dapat meminta Pengadilan Tata Usaha Negara untuk memerintahkan Mahkamah Agung menghentikan keberlakukan Surat Ketua MA Nomor: 73/KMA/HK.01/IX/2015 tanggal 25 September 2015 dengan cara merevisi ataupun mencabutnya. Penegasan atas hal ini disebutkan dalam pasal 5 ayat (3) Perma Nomor 2 Tahun 2019 yakni “Dalam hal gugatan dikabulkan Pengadilan dapat mewajibkan kepada Pejabat Administrasi Pemerintahan untuk: a. Melakukan tindakan pemerintahan; b. Tidak melakukan tindakan pemerintahan; c. Menghentikan tindakan pemerintahan.
Satu hal yang penting lagi, selain meminta agar dilakukan tindakan atau menghentikan tindakan pemerintahan tertentu, PMH Administrasi ini juga memiliki konsep pertanggung jawaban kerugian yang pada PMH perdata. Pengadilan yang memutus permohonan ini juga dapat menetapkan sejumlah ganti rugi yang harus dibayar atas kerugian yang ditimbulkan oleh tindakan Pemerintahan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 5 ayat (3) dimana disebutkan “kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat 92) dapat disertai pembebanan rehabilitasi dan/atau ganti rugi”
1Bagi yang tidak memahami sejarah lahirnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat akan memiliki pertanyaan yang sama. Usaha memahami hal ini dapat dilakukan dengan menganalisa tafsir sejarah atas pasal-pasal dalam Undang-Undang Advokat, utamanya pasal 28 ayat (1) dan pasal 32 ayat (4). Lahirnya Undang-Undang Advokat dan PERADI adalahSituasi sejarah yang simultan dan berkaitan.
2Handoko Eko Santoso, < https://hukumclick.wordpress.com/2019/08/31/advokat-sejarah-organisasi-advokat-di-indonesia/>, diakses 08 Februari 2020
3Lihat Perhimpunan Advokat Indonesia. Kitab Advokat Indonesia. (Bandung; Penerbit Alumni, 2007) hal 101