Artificial Intelligence Lolos Ujian Profesi, Begini Pandangan Organisasi Advokat
Dunia hukum lagi-lagi digemparkan dengan beredarnya pemberitaan Artificial Intelligence (AI) model GPT-4, merupakan model pembelajaran mendalam multimodal baru dari Open AI dinyatakan lulus dari Uniform Bar Exam atau Ujian Profesi Advokat (UPA). Open AI mengklaim GPT-4 telah lulus UPA yang disimulasikan dengan memperoleh skor sekitar 10% teratas dari peserta tes lainnya.
Mengutip The Economic Times, model AI yang didukung Microsoft ini memperoleh skor 297 dalam UPA dalam percobaan yang dilakukan oleh 2 profesor hukum dan dua karyawan perusahaan teknologi hukum Casetext. UPA yang diambil GPT-4 menilai pengetahuan, penalaran, mencakup esai dan tes kinerja untuk mensimulasikan pekerjaan hukum, termasuk di dalamnya terdapat pertanyaan pilihan ganda.
Lantas, bagaimana organisasi advokat di Indonesia menyikapi fenomena ini?
“Banyak pertanyaan kepada kita mengenai hal ini (AI memasuki dunia lawyering, red). Kita masih pada posisi tidak semua sektor bisa dimasuki komputer (atau AI), tetapi ada sektor yang membutuhkan skill di lapangan,” ujar Ketua Harian DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) R. Dwiyanto Prihartono ketika dihubungi Hukumonline, Senin (15/5/2023).
Ia mengaku perkembangan AI yang begitu pesat tidak dapat terhindarkan. Seiring dengan teknologi yang kian canggih, bahkan kini sudah ada beberapa institusi di level dunia yang membuka jasa untuk memperoleh jawaban dari AI berdasarkan data yang dimiliki.
Berkenaan AI model GPT-4 yang lolos dari ujian profesi advokat di luar negeri sana, menurutnya hal ini menjadi salah satu fenomena yang perlu diperhatikan lawyer Indonesia. Bila ujian yang diberikan memuat pertanyaan-pertanyaan standar kompetensi dan dijawab oleh AI yang telah diisi pengetahuan mumpuni dalam database besar menjadi tidak mengherankan lagi.
“Hanya saja saya tidak melihat ini menjadi kekhawatiran besar. Kalau itu satu pekerjaan lawyer yang sifatnya standar relatif hampir sama dan serupa (bisa dibantu oleh AI). Kalau kita melihatnya dibiarkan saja itu berkembang,” ungkapnya.
Apalagi, saat ini diketahui telah terdapat beberapa firma hukum besar yang ada di dunia memanfaatkan teknologi AI. Meski masih belum ada keseragaman dalam praktik pemanfaatannya di kalangan law firm. “Tandanya sebagian dari kita sudah cukup siap. Hanya saja secara merata seluruh Indonesia ini masih sesuatu hal yang secara keras dipikirkan bersama,” kata dia.
Di sisi lain, Sekretaris Jenderal Asosiasi Advokat Indonesia (Sekjen AAI) Bobby Rahman Manalu memaknai lulusnya suatu sistem AI dalam ujian profesi advokat sebagai suatu wake up call bagi industri jasa hukum agar senantiasa berbenah dalam menyajikan layanan hukum terhadap klien.
“AAI tentu saja harus mulai memikirkan dan mendorong soal regulasi penggunaan AI nantinya. Saat ini di Amerika Serikat dan Eropa sudah mulai memikirkan aspek itu yang menyangkut kepentingan publik karena AI tentu saja tak mengenal etika. Selain sebagai organisasi, kerja-kerja peningkatan kompetensi advokat harus terus dilakukan,” ujar Bobby.
Saat ini, kata dia, bisa jadi advis hukum yang diproses melalui kecerdasan buatan belum seakurat advis yang dihasilkan advokat. Akan tetapi dengan teknologi yang terus berkembang pesat tidak kemudian menutup kemungkinan potensi AI yang semakin berkembang dan dapat menjadi tantangan di industri jasa hukum, khususnya di Indonesia.
Bagai dua mata koin, eksistensi AI dapat menjadi tantangan dan sekaligus memberikan peluang. “Untuk jangka pendek, kemungkinan AI akan menguntungkan para pemain besar di industri jasa hukum karena merekalah yang mampu membeli sistemnya. Di sisi klien atau masyarakat, kehadiran AI tentu saja akan memberikan kemudahan dan kecepatan akses,” ungkapnya.
Sudah menjadi keniscayaan terjadi perkembangan teknologi yang kemudian mendisrupsi industri jasa hukum. Meskipun kecanggihan AI dewasa ini nampaknya belum sepenuhnya mendekati kemampuan advokat dalam memberi jasa hukum, tetapi setiap advokat harus melihatnya sebagai tantangan untuk terus meng-upgrade kemampuan kompetensi dan pelayanan kepada klien.
Dalam kesempatan terpisah, Ketua Komite Kerja Sama Internasional Peradi Suara Advokat Indonesia (Peradi SAI) Ira Andamara Eddymurthy memandang penggunaan AI secara langsung maupun tidak dapat membantu pekerjaan lawyer sekaligus menggantikan peran SDM dalam beberapa aspek.
“Hal ini memberikan keuntungan sekaligus tantangan bagi kita semua. Terkait dengan Model AI (GPT-4) yang dapat lulus ujian profesi Advokat (Uniform Bar Exam/UBE) beberapa waktu lalu, membuat kita semua harus semakin siap untuk menghadapi perubahan,” ujarnya.
Melihat kondisi yang ada sekarang, bisa saja di kemudian hari model AI serupa dapat muncul di Indonesia guna membantu dan bukan semata menggantikan pekerjaan advokat di Indonesia. Karena itu, Ira menggarisbawahi eksistensi AI bukan hanya sebagai tantangan melainkan juga keuntungan bagi kalangan lawyers.
“Kita harus tetap memperluas wawasan dan juga networking karena manusia sejatinya adalah mahluk sosial yang tidak akan pernah berhenti belajar. Selanjutnya sebagai advokat kita harus menjunjung tinggi etika profesi yang tidak dimiliki oleh AI. Jadi AI seharusnya dapat membantu para advokat, tetapi tidak dapat menggantikan peran advokat,” katanya.
Sebagai informasi, dilansir ABA Journal, GPT-4 mengambil semua bagian dari UPA dan memperoleh hasil dengan sangat baik pada bagian pilihan ganda (Multistate Bar Exam). Mendapatkan 75,7% pertanyaan tepat di MBE pilihan ganda, dibandingkan dengan rata-rata manusia sebesar 68%.
Dengan rincian GPT-4 lolos di ketujuh mata pelajaran yang diujikan MBE. Terbaik dalam kontrak (menjawab 88,1% pertanyaan dengan benar), diikuti dengan pembuktian (85,2%) serta hukum pidana dan prosedur (81,1%). GPT-4 mendapat skor 4,2 dari 6 poin. Sebagian besar yurisdiksi menggunakan skala sama dimana skor 4 dianggap lulus. Lebih lanjut pada Multistate Performance Test, GPT-4 juga mendapat skor 4,2 dari 6 poin.